Tradisi Ma’nene, diadakan setiap tiga tahun sekali setelah musim panen. Merupakan ritual penyucian leluhur yang dilakukan dengan membersihkan, mengganti pakaian, dan mendandani fosil orang tua dan leluhur yang telah meninggal selama puluhan hingga ratusan tahun.
Tana Toraja di Sulawesi Selatan dikenal dengan beragam budaya dan tradisi uniknya, salah satunya adalah tradisi Ma’nene. Tradisi ini biasanya dilaksanakan dalam sebuah upacara adat yang disebut tradisi Ma’nene. Biasanya diadakan setelah musim panen yaitu bulan Agustus.
Dulunya upacara ini rutin diadakan setiap tahun. Karena tingginya biaya dan banyak anggota keluarga yang merantau keluar, sehingga diadakan setiap tiga tahun sekali. Ritual ini dilakukan oleh masyarakat Baruppu sebagai bentuk kecintaan dan penghargaan dari keluarga yang masih hidup terhadap leluhur mereka.
Sejarah Tradisi Ma’nene
Menurut beberapa sumber, Ritual Ma’nene berasal dari kisah seorang pemburu binatang bernama Pong Rumasek. Ketika berada di hutan pegunungan Balla, ia menemukan seorang yang telah meninggal dengan kondisi yang memprihatinkan.
Kemudian, Pong membawa jasad tersebut dan mengenakannya pakaian yang pantas dan memakamkannya secara layak. Setelah itu, Pong mengalami keberkahan tidak terduga. Tanaman pertaniannya dan perburuannya selalu sukses.
Dari pengalaman ini, Pong menyimpulkan bahwa meskipun seseorang telah meninggal dan fisiknya berubah, mereka masih layak dirawat dan dihormati. Pong kemudian mewariskan pesannya kepada penduduk Baruppu, dan mereka meneruskannya.
Dilansir dari halaman indonesiakaya.com, ritual ini merupakan bagian dari upacara Rambu Solo menurut kepercayaan kuno orang-orang Toraja, yaitu Aluk To Dolo. Kepercayaan ini kemungkinan berkembang pada masa megalitikum yang berlangsung dari 2500-1500 SM.
Menurut kepercayaan Aluk to dolo’, arwah para leluhur tetap beraktivitas seperti dalam dunia orang-orang hidup. Mereka membutuhkan bekal seperti orang hidup untuk mencapai kehidupan yang lebih baik di alamnya.
Karena itulah, para keluarga mendiang menyematkan pakaian, mengorbankan kerbau, dan menaruh makanan di sekitar makam leluhur. Selain itu, mereka percaya jika mereka baik terhadap leluhur, hal yang sama akan kembali ke mereka yang masih hidup.
Namun seiring dengan masuknya agama lain di Tanah Toraja, upacara ini mulai berubah. Ada yang meninggalkan tradisi ini, tapi ada juga yang masih melaksanakannya dengan beberapa perubahan, seperti yang dilakukan masyarakat di Baruppu, Toraja Utara.
Prosesi Ritual Ma’nene
Upacara Ma’nene terdiri dari serangkaian kegiatan menarik lainnya, dimulai dengan penyembelihan hewan kurban, seperti babi atau kerbau. Setelah seluruh keluarga dan kerabat berkumpul di lokasi upacara adat, fosil atau jenazah dikeluarkan dari makam khas suku Toraja yang disebut Pa’tane, dan dibawa ke tempat upacara.
Kemudian, jenazah dibersihkan dengan kuas, dijemur sebentar, lalu mengganti pakaian, dan didandani. Setelah itu jenazah dibungkus kembali ke patane. Biasanya ritual ini dilakukan serempak satu keluarga atau bahkan satu desa.
Pelaksanaan ritual Ma’nene tidak serentak, melainkan sesuai kesepakatan masing-masing daerah atau kepercayaan adat tertentu. Umumnya, upacara ini dilaksanakan setelah musim panen sebagai bentuk rasa syukur kepada leluhur atas hasil panen yang baik.
Rangkaian ini ditutup dengan anggota keluarga berkumpul di rumah adat tongkonan untuk beribadah bersama. Seiring dengan perkembangan jaman, ada beberapa perubahan yang dilakukan. Misalkan seperti ikut memakan sesaji yang dihidangkan serta berdoa menurut kepercayaan agama masing-masing.
Secara pemaknaan, upacara ma’nene tak lagi bersifat religius, tapi juga punya nilai keduniawian, yaitu promosi wisata Tanah Toraja. Selain itu juga mencerminkan hubungan antar anggota keluarga masyarakat Toraja. Melalui hal ini, selain kedalaman makna upacara ma’nene tetap terjaga namun juga tetap melestarikan tradisi tanah Toraja. (Anisa Kurniawati-Berbagai sumber)