Triyanto Triwikromo, adalah sastrawan, redaktur, dan juga guru yang berasal dari Salatiga. Dia pernah dinyatakan sebagai penyair terbaik versi majalah gadis (1989) dan versi Dirjen Kesenian RI (1999).
Triyanto Triwikromo lahir dari pasangan Mardino dan Mardiyah, di Pungkur Sari, Salatiga, pada tanggal 15 September 1964. Dia merupakan lulusan dari Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FPBS IKIP Semarang.
Dilansir dari laman Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, motivasi awal Triyanto menulis adalah untuk mengungkapkan perasaannya dan segala problem yang ada dalam kehidupan. Ia memperoleh kemampuan menulis secara autodidak.
Pada tahun 1985, ia bekerja sebagai guru SD di Salatiga. Sebelum kemudian pada tahun 1990, ia merantau ke Jakarta dan bekerja di sebuah diskotek sebagai supervisor. Setahun berselang, ia kembali ke Semarang dan menjadi wartawan Suara Merdeka sejak 1994.
Penulisan yang dikategorikan oleh Korri Layun Rampan ke dalam “Angkatan 2000” ini aktif menulis cerpen dan puisi di berbagai surat kabar seperti Kompas, Media Indonesia, Koran Tempo, Suara Pembaruan, Suara Merdeka, Republika dan lainnya.
Pada tahun 1989 Triyanto dinobatkan sebagai penyair terbaik majalah Gadis. Untuk kedua kalinya, pada tahun 1990 dia juga dinyatakan sebagai salah seorang penyair terbaik versi Dirjen Kesenian RI.
Karya Triyanto Triwikromo
Selama hidupnya, Triyanto telah menerbitkan banyak sekali cerpen dan puisi di surat kabar maupun yang diterbitkan dalam bentuk buku. Salah satu cerpennya juga pernah terpilih sebagai salah satu cerpen terbaik Kompas pada tahun 2002 yang berjudul ”Mata Sunyi Perempuan Takroni”.
Beberapa karyanya dianalogikan bersama cerpenis lain dalam Panorama Dunia Keranda (1991), Kasidah Jalan Raya (1992), antara lain adalah Rezim Seks (1997), Ragaula (2002) dan banyak lainnya.
Bersama cerpenis Herlino Soleman ia menerbitkan kumpulan cerpen Pintu Tertutup Salju (2000). Di samping itu, antologi bersama cerpenis lain dalam Ritus (1995), Negeri Bayang-bayang (1996), Gerbong: Antologi Puisi dan Cerpen Indonesia Modern (1998).
Selain itu, dia juga menerbitkan kumpulan cerpen dalam dwibahasa (Inggris-Indonesia) yang berjudul Children Sharpening the Knives (2003) terjemahan dari karyanya Anak-anak Mengasah Pisau.
Triyanto dengan karyanya banyak mengundang komentar dari sastrawan dan kritikus lain. Afrizal Malna mengatakan bahwa Triyanto memperlakukan cerpen sebagai media ekspresi puitika ke ruang prosa.
Selanjutnya Afrizal juga mengatakan bahwa bagi Triyanto kerusakan sosial bukan lagi berita, melainkan bagian dari fenomena ketubuhan. Afrizal menggambarkan cerpen Triyanto adalah medan tato dengan risiko-risiko sosial yang perih ditorehkan.
Disamping menulis, Triyanto juga aktif di berbagai pertemuan sastra. Diantaranya yaitu menjadi pembicara dalam Pertemuan Teater Indonesia (1988) di Yogyakarta, mengikuti Pertemuan Sastrawan Indonesia di Padang.
Pernah juga menjadi aktivis Gerakan Revitalisasi Sastra Pedalaman. Bahkan di tahun 2007, pernah menjadi Ketua Komite Sastra, Dewan Kesenian Jawa Tengah (DKJT). Selain di Indonesia, dia juga aktif di kancah mancanegara.
Seperti menghadiri Nothern Territory Festival di Darwin, Australia. Kemudian, pada tahun 2012-2013 dia terlibat dalam pembuatan program citybooks yang diproduksi oleh deBuren (rumah produksi dari Belgia).
Proyek tersebut merupakan pembuatan 10 puisi panjang mengenai Semarang dan diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda, Inggris, dan Prancis. Saat ini dia masih aktif menulis dan menjadi pembicara di berbagai kegiatan. (Ditulis dari berbagai sumber)