Makam Sunan Drajat, yang berada di Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, merupakan salah satu destinasi ziarah. Lokasinyah berada di desa Drajat, sekira 300 meter dari jalan raya Daendeles, dan dikelilingi perbukitan.
Di sebelah timur cungkup makam Sunan Drajat berdiri Museum Sunan Drajat yang mulai dibangun pada 1991 -199 dan diresmikan pada 1 Maret 1992 oleh Gubernur Jawa Timur..
Sunan Drajat, yang memiliki nama asli Raden Qosim, diketahui lahir sekitar tahun 1445 M di Ampel Surabaya. Ia merupakan putra dari Sunan Ampel dan Retno Ayu Manila.
Sejak usia dini, Raden Qosim sudah menunjukkan kecerdasan luar biasa, terutama dalam hal agama. Pada usia 6 tahun, ia sudah pandai membaca dan menulis Al-Quran di bawah bimbingan ayahnya.
Baca juga: Dato Karama, Ulama Minangkabau di Bumi Tadulako
Perjalanan Spiritual
Setelah menyelesaikan pendidikan di Pondok Pesantren Ampel, Raden Qosim melanjutkan perjalanan spiritualnya dengan menunaikan ibadah haji ke Makkah, sekaligus memperdalam agama.
Namun, perjalanan dakwahnya dimulai dengan kisah yang cukup luar biasa. Konon, saat melanjutkan dakwahnya, perahu yang ditumpanginya terhantam karang dan hancur. Dalam keadaan terombang-ambing di laut, seekor ikan hiu datang menolongnya dan mengantarnya ke daratan.
Kejadian ini dianggap sebagai pertanda bahwa Raden Qosim memiliki tugas besar di tanah Jawa, terutama dalam menyebarkan ajaran Islam. Setelah tiba di Desa Jelag, Raden Qosim mulai berdakwah dengan membangun mushola sebagai pusat kegiatan ibadah dan dakwah Islam.
Mengajarkan Nilai Sosial
Keberhasilan dakwahnya membawa banyak santri dari berbagai daerah, termasuk Banjarmasin dan Kalimantan Selatan. Desa Jelag yang kemudian dikenal dengan nama Banjar, menjadi pusat penyebaran Islam yang berkembang pesat.
Salah satu aspek penting jaran Sunan Drajat adalah nilai-nilai sosial yang sangat menekankan rasa kepedulian terhadap sesama. Ia mengajarkan agar setiap umat Islam tidak hanya fokus pada ibadah pribadi, tetapi juga harus peduli terhadap kebutuhan orang lain, terutama yang kurang beruntung.
Sunan Drajat dikenal sebagai wali yang sangat sosial dan sering membantu anak yatim, fakir miskin, dan orang-orang yang membutuhkan. Beberapa ungkapan yang berasal dari ajaran Sunan Drajat yang masih dikenal sampai saat ini adalah:
- Menehono teken marang wong kang wulo: Berilah tongkat kepada orang yang buta.
- Menehono mangan marang wong kang luwe: Berilah makan kepada orang yang kelaparan.
- Menehono ngiyup marang wong kang kodanan: Berilah berteduh kepada orang yang kehujanan.
- Menehono busono marang wong kang mudo: Berilah pakaian kepada orang yang telanjang.
Ajaran-ajaran ini menggambarkan pentingnya menjaga hubungan antar sesama, serta memenuhi kebutuhan dasar manusia seperti makanan, pakaian, tempat tinggal, dan pendidikan. Sunan Drajat meyakini bahwa dengan memenuhi kebutuhan, masyarakat akan hidup dalam kedamaian dan kesejahteraan.
Baca juga: Legenda Kyai Sarageni Dibalik Pembentukan Desa Pekunden
Seorang Seniman
Selain sebagai seorang pemimpin spiritual, Sunan Drajat juga dikenal sebagai seorang seniman. Ia menciptakan seperangkat gamelan yang digunakan dalam dakwahnya.
Gamelan ini dinamakan “Singomengkok” dan hingga saat ini masih disimpan di museum Sunan Drajat yang sekalgus berada di kompleks makamnya di Lamongan, Jawa Timur..
Melalui gamelan dan gending yang ia ciptakan, Sunan Drajat menyampaikan pesan-pesan Islam secara damai dan penuh hikmah. Salah satu gending ciptaannya yang terkenal adalah gending “pangkur”, yang digunakan untuk membawakan ayat-ayat suci Al-Quran dan Sunnah Rosul. (Dari berbagai sumber)