Wayang Golek Purwa adalah salah satu bentuk seni pertunjukan tradisional dari Sunda. Bentuk wayang nya menggunakan boneka kayu tiga dimensi.
Kesenian ini mengisahkan epos Mahabharata dan Ramayana, namun menekankan pada aspek lokal khas kebudayaan Sunda, Jawa Barat.
Dilansir dari laman Indonesia.go.id, munculnya Wayang Golek Purwa dari Sunda diceritakan dalam bukunnya Asal-usul Dalang dan Perkembangan Wayang di Jawa Barat (1977).
Berkah Sistem Tanam Paksa Kopi
Sebelum Cultuurstelsel, Belanda berhasil menerapkan Preangerstelsel (sistem tanam paksa kopi) di kawasan Priangan yang meliputi Sumedang, Bandung, Cianjur, Sukabumi, dan Bogor.
Tanaman kopi dan teh ini membawa kemakmuran di akhir abad 18 hingga awal abad 19.
Kemakmuran ini melahirkan kelas “Menak” atau bangsawan Sunda yang memiliki hubungan kekerabatan dengan kerajaan di Jawa timur. Mereka ingin menikmati seni pertunjukan sesuai selera.
Bupati Wiranatakoesoema II, bupati Bandung pada 1794-1829, mendatangkan dalang dari Tegal untuk mengembangkan seni wayang yang khas Sunda. Ki Guna Permana atau Dipaguna Permana, dalang dari Tegal, diundang ke Bandung.
Ia membawa murid-muridnya yang kemudian mengembangkan karawitan Sunda di berbagai daerah Priangan. Nama-nama seperti Mayat, Ketuwon, Ki Gubyar, dan Ki Klungsu disebut dalam catatan.
Baca juga: Perjalanan Wayang Gagrag Banyumasan Mengikuti Zaman
Padepokan Cibiru
Pada masa Dipaguna Permana, wayang di Priangan masih mengikuti gaya Jawa dengan bahasa Jawa Kawi. Namun, pada masa Wiranatakusuma III, atau Dalem Karanganyar, terjadi perubahan.
Dalem Karanganyar mendatangkan Ki Darman, Ki Rumiang, dan Ki Surasungging, masing-masing dengan keahlian yang berbeda. Ki Darman, pembuat wayang; Ki Rumiang, dalang; dan Ki Surasungging, pembuat gamelan.
Dalem Karanganyar ingin menonton wayang pada siang hari. Karena itu dia meminta Ki Darman mengubah wayang dua dimensi menjadi tiga dimensi dari kayu. Untuk itu, Ki Darman diberi padepokan di Cibiru, 12 kilometer timur Bandung.
Sementara Ki Rumiang terpilih menjadi dalang “dalem”. Dari Ki Rumiang inilah muncul nama Mama Anting atau Rama Anting. Nama itu kemudian menjadi leluhur dalang-dalang yang mampu menampilkan pertunjukan dengan gaya Sunda.
Dari garis ini, muncul nama-nama seperti Suwanda dan Surawisastra di Bandung, serta Bradjanata di Garut. Parta Suwanda menulis literatur pedalangan gaya Sunda dan keluarga Sunarya yang melahirkan generasi dalang Sunda populer.
Tokoh Sentral Wayang Golek Purwa
Salah satu tokoh utama Wayang Golek Purwa adalah Arya Seta. Tokoh ini, putra sulung dari Prabu Matswapati dan Dewi Ni Yustinawati. Ia dikenal sebagai sosok yang sangat sakti dan memiliki kemampuan spiritual yang luar biasa.
Dalam kisah Wayang Golek Purwa, Arya Seta berperan sebagai panglima perang Pandawa dalam Perang Bharatayudha. Kisah Arya Seta dan Wayang Golek Purwa tidak hanya menjadi bagian dari warisan budaya Sunda.
Pertunjukan Wayang Golek Purwa yang menampilkan Arya Seta kerap menjadi sarana menggali dan merayakan tradisi budaya Sunda. Dari cerita ini, generasi muda bisa mempelajari sejarah, mitologi, serta nilai-nilai dalam itu. (Dari berbagai sumber)