Kampung Pitu adalah sebuah perkampungan kecil yang terletak di puncak sisi timur Gunung Api Purba Nglanggeran, Kelurahan Nglanggeran, Kecamatan Patuk, Kabupaten Gunung kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Kampung ini dikenal sebagai tempat yang sarat dengan tradisi leluhur, salah satunya adalah aturan unik yang membatasi jumlah kepala keluarga hanya tujuh. Tradisi ini telah diwariskan secara turun-temurun dan tetap dijaga hingga kini.
Sejarah dan Filosofi Kampung Pitu
Dilansir dari regional.kompas.com, awalnya Kampung Pitu dikenal dengan nama Kampung Tlogo, diambil dari nama telaga Tlogo Guyangan. Telaga ini memiliki arti simbolis sebagai tempat pemandian kuda sembrani, kendaraan gaib yang konon digunakan para bidadari.
Tahun 2015, Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) mengganti namanya menjadi Kampung Pitu sebagai bagian dari upaya untuk mempromosikan perkampungan ini sebagai destinasi wisata budaya.
Nama baru ini berhasil membawa Kampung Pitu ke panggung pengakuan, termasuk penghargaan dari Gubernur DI Yogyakarta sebagai pelestari kebudayaan, serta penetapan sebagai Warisan Budaya Tak Benda Nasional tahun 2019.
Sejarah Kampung Pitu bermula dari kisah Eyang Iro Dikromo, seorang abdi Keraton Yogyakarta yang memenangkan sayembara dengan menemukan pusaka pada pohon Kinah Gadung Wulung di puncak Gunung Nglanggeran.
Sebagai hadiah, ia menerima sebidang tanah dari Keraton untuk ditempati keturunannya.
Ia menetapkan aturan sakral yang hanya memperbolehkan tujuh kepala keluarga (Empu Pitu) tinggal di kampung ini. Aturan ini diyakini sebagai wasiat leluhur dan tidak boleh dilanggar, karena dipercaya dapat mendatangkan bencana.
Tradisi yang Dilestarikan
Melansir dari jogjaprov.go.id, masyarakat Kampung Pitu tetap mempertahankan tradisi leluhur, termasuk pantangan menggelar pertunjukan wayang. Hal ini berkaitan dengan nama gunung di sekitar desa yang disebut Gunung Wayang.
Mereka percaya bahwa melanggar aturan ini dapat membawa malapetaka. Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat Kampung Pitu mempraktikkan sinkretisme antara Islam dan budaya Jawa.
Mereka rutin menggelar slametan untuk berbagai upacara, seperti kelahiran, pernikahan, dan kematian. Meskipun aturan kepala keluarga harus berjumlah tujuh sangat ketat, tradisi ini tidak membatasi pilihan pasangan dalam pernikahan.
Namun, pasangan yang telah menikah harus meninggalkan Kampung Pitu dan tidak diizinkan membuat kartu keluarga sendiri jika tetap tinggal di kampung.
Baca juga: Melihat Gunung Api Purba di Desa Wisata Nglanggeran
Pesona Budaya Kampung Pitu Gunung Kidul
Dengan segala keunikan dan tradisinya, Kampung Pitu menjadi salah satu objek wisata budaya unggulan di Gunungkidul. Selain daya tarik tradisi, pengunjung juga dapat menikmati keindahan panorama dari Gunung Api Purba Nglanggeran.
Keberhasilan kampung ini mempertahankan warisan leluhur sekaligus menyesuaikannya dengan zaman modern menjadikannya sebagai contoh nyata pelestarian budaya berkelanjutan.
Kampung Pitu tidak hanya menyuguhkan cerita sejarah dan tradisi, tetapi juga memberikan pengalaman spiritual yang mendalam bagi mereka yang berkunjung. (Diolah dari berbagai sumber)