Sanggar Tari Ngesti Laras menggelar Workshop Bundengan dan Tari Topeng Lengger bertema “Nandhing Swara, Nuntun Raga” di Wonosobo pada Sabtu (26/4/2025).
Acara ini bertujuan memperkenalkan alat musik tradisional Bundengan serta tarian khas Lengger kepada generasi muda, termasuk anak-anak berkebutuhan khusus.
Mulyani Moelya, pemilik Sanggar Tari Ngesti Laras, menjelaskan bahwa tema acara memiliki makna mendalam.
“Nandhing Swara berarti menggali suara-suara pada Bundengan, sedangkan Nuntun Raga berarti menggugah gerakan tari Lengger melalui musik Bundengan,” ungkapnya.
Ia menambahkan, acara ini terbuka bagi semua kalangan.
“Kami mengundang anak-anak dengan kebutuhan khusus seperti Tuna Rungu, Tuna Daksa, dan keterbatasan intelektual, karena kami ingin semua bisa mencintai Bundengan,” tuturnya.
Baca Juga: The Heroes Keris, Indonesia Tampilkan Pusaka Sakral dalam Pameran Internasional
Tercatat, sekitar 60 peserta dari SMP 1 Wonosobo, SMP 2 Wonosobo, SMK Dena Upakara, serta kalangan umum mengikuti workshop ini.
“Kami sengaja melibatkan anak-anak istimewa ini, karena sering kali mereka punya bakat luar biasa, hanya kurang mendapat ruang berkembang,” kata Mulyani.
Terkait metode pengajaran, Mulyani menjelaskan bahwa pendekatan visual digunakan khusus untuk peserta Tuna Rungu.
“Kami mengandalkan panduan gerakan mulut dan jari. Mereka justru lebih cermat karena penglihatan mereka lebih tajam,” jelasnya.
Acara ini menghadirkan tiga narasumber yaitu Muhammad Said Abdulloh, Yatno, dan Dwi Pranyoto.
Eksplorasi Bundengan dan Lengger dalam Workshop
Muhammad Said Abdulloh, seniman Bundengan asal Wonosobo, membawakan materi tentang organologi Bundengan.
Ia berbagi, “Saya lebih banyak menceritakan pengalaman pribadi tentang pembuatan, pengembangan, dan eksperimen Bundengan, sambil mengenalkan dasar organologinya.”
Saat ditanya mengenai konsep organologi, Said menjelaskan, “Organologi itu mempelajari bagian-bagian alat musik. Dalam Bundengan, ada bilah bambu untuk suara kendang dan senar yang meniru karakter bende, kempul, serta gong.”
Yatno, seorang pengrajin Bundengan yang juga menjadi pembicara, berbagi tentang teknik pembuatan dan cara memainkan Bundengan.
“Kami mengenalkan bentuk serta struktur Bundengan, lalu mengajarkan teknik dasarnya. Respons peserta luar biasa, mereka sangat antusias meski baru pertama mencoba,” ujarnya.
Sementara itu, Dwi Pranyoto, budayawan asal Wonosobo, memperkenalkan dasar gerakan Tari Lengger.
Ia mengatakan, “Saya ingin peserta tak hanya mengenal tari Lengger sebagai tontonan, tapi memahami sejarah dan nilai budayanya.”

Antusiasme Peserta Workshop
Peserta yang hadir dalam acara ini mengaku sangat antusias mengikuti workshop.
Yularti, salah satu peserta, mengungkapkan rasa penasaran yang akhirnya terjawab lewat acara ini.
“Selama ini saya mengenal Bundengan hanya dari media sosial. Tapi di sini, saya belajar langsung dari para ahli, jadi saya puas,” katanya.
Sherly, peserta lain, merasa senang bisa ikut serta.
“Saya tadi belajar sejarah Bundengan dan cara memainkannya. Rasanya senang sekali. Semoga ke depannya Bundengan bisa lebih dikenal luas, bahkan mendunia,” ujarnya.
Ananda Nicola, yang turut mengisi pentas Bundengan dalam acara ini, menilai workshop sangat bermanfaat.
“Saya sudah beberapa kali tampil membawakan Bundengan sejak tahun 2015 di beberapa event, termasuk di Yogyakarta dan Solo. Tapi di workshop ini, saya lebih memahami sejarah dan fleksibilitas Bundengan yang ternyata bisa masuk ke berbagai genre musik modern seperti pop dan dangdut,” paparnya.
Sementara itu, Asya, peserta Tuna Rungu yang ikut belajar tari, mengungkapkan kegembiraannya.
“Senang bisa mengikuti acara ini. Saya ikut karena ingin mengenal Bundengan dan menari. Saya berharap bisa sukses memainkan alat musik ini,” katanya dengan semangat.

Harapan untuk Masa Depan Bundengan
Workshop ini merupakan kegiatan yang diselenggarakan Sanggar Ngesti Laras dengan dukungan Dana Indonesiana.
Mulyani menyatakan bahwa program serupa akan berlanjut di bulan Mei dan Agustus melalui pementasan Bundengan dan tari di objek wisata.
“Kami ingin peserta mendapatkan pengalaman baru, mengenal Bundengan lebih dekat, mencintai, dan mengembangkannya,” katanya.
Ia juga menekankan pentingnya peran generasi muda dalam melestarikan budaya lokal.
“Kita jangan hanya terpukau budaya luar, tapi harus mempromosikan budaya kita sendiri. Bisa melalui media sosial seperti Instagram dan TikTok, agar lebih menarik bagi anak muda,” ujarnya.
Di akhir acara, Mulyani mengaku terharu melihat semangat para peserta.
“Mereka sangat bersemangat, ini langkah besar memperkenalkan Bundengan lebih luas,” katanya.
Baca Juga: Patung Biawak Viral dari Wonosobo Kini Dilindungi Hak Cipta
Bagi masyarakat yang ingin bergabung lebih lanjut, Mulyani menginformasikan bahwa latihan reguler dibuka di Yayasan Ngesti Laras Silakromo.
“Kami menyediakan Bundengan dan instrukturnya di sana,” tambahnya.
Mulyani juga sempat berbagi kabar membanggakan. Ia baru saja menerima Anugerah Kebudayaan Indonesia dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada September lalu, berkat dedikasinya terhadap pelestarian Bundengan dan Tari Topeng Lengger.
“Saya juga berkesempatan mengenalkan Bundengan di acara nasional seperti Kumpas TV,” ucapnya penuh syukur.
Menutup sesi wawancara, Mulyani menyatakan cita-citanya, “Saya ingin Bundengan diakui dunia, bukan hanya di Wonosobo atau Indonesia.”
Workshop “Nandhing Swara, Nuntun Raga” pun menjadi langkah awal penting dalam memperkuat jalinan generasi muda dengan warisan seni tradisi Wonosobo.