Menteri Agama RI, Nasaruddin Umar, mengajak umat Buddha untuk meneladani nilai-nilai spiritual Siddhartha Gautama yang sarat dengan welas asih, keberanian, dan pengorbanan demi kemanusiaan. Seruan ini disampaikan saat perayaan puncak Hari Raya Waisak 2569 BE/2025 M di pelataran Candi Borobudur, Jawa Tengah, Senin (12/5).
Pentingnya Kontemplasi
Dalam sambutannya, Menag menekankan pentingnya kontemplasi sebagai inti dari perayaan Waisak. Ia menjelaskan bahwa kontemplasi berbeda dari konsentrasi. “Konsentrasi mengajak kita keluar untuk fokus pada sesuatu di luar diri. Tapi kontemplasi mengajak kita masuk, merenungi siapa sesungguhnya diri kita dan apa arti kehidupan,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa ajaran dan perjalanan hidup Siddhartha Gautama sangat relevan dengan kondisi masyarakat modern yang rentan kehilangan arah spiritual. “Bayangkan, beliau meninggalkan dua kerajaan besar demi mencari makna sejati kehidupan. Beliau tidak mabuk kuasa, tidak larut dalam kemewahan, tetapi justru menjadi simbol pengorbanan tertinggi bagi umat manusia,” kata Menag dilansir dari kemenag.go.id.
Baca juga: Menag Nasaruddin Umar Ajak Masyarakat Jadikan Waisak Momentum Perkuat Toleransi
Relasi Program Kemenag dan Ajaran Buddha
Lebih lanjut, Menag menyampaikan bahwa sejumlah program Kementerian Agama sejalan dengan ajaran Buddha. Salah satunya adalah pengembangan Kurikulum Cinta, sebuah pendekatan pendidikan agama yang menekankan nilai kasih sayang universal.
“Jika ada yang mengatasnamakan agama namun menyebarkan kebencian, itu sejatinya bukan ajaran agama. Semua agama, termasuk Buddha, adalah ajaran cinta kasih,” tegasnya.
Ia juga memperkenalkan program ekoteologi, sebuah pendekatan yang menekankan hubungan harmonis antara manusia dan alam. Dalam hal ini, ajaran Buddha dinilai sangat kuat dalam menanamkan penghormatan terhadap semua makhluk hidup dan alam semesta.
Menag turut menyoroti peran strategis para pemuka agama, termasuk para Bhikkhu dan Sangha, sebagai pembimbing spiritual yang berperan layaknya obor penerang dalam kehidupan beragama. Ia menekankan bahwa para guru agama memiliki tanggung jawab besar dalam menjembatani kembali umat dengan ajaran agamanya.
“Maka, ukuran keberagamaan kita adalah seberapa besar kita menyatu dengan ajaran agama kita. Selama umat masih berjarak dengan ajarannya, tugas para pemuka agama, ulama, bhiksu, pendeta, pastor, itu belum selesai,” tegasnya.
Baca juga: Waisak, Sejarah dan Makna Peringatan Hari Raya Buddha di Indonesia
Di akhir sambutan, Menag mengajak seluruh umat lintas agama untuk memperkuat nilai-nilai toleransi dalam kehidupan berbangsa.
“Toleransi bukan menyamakan yang berbeda, bukan pula membedakan yang sama. Tapi menjalani hidup damai dan saling mencintai di tengah perbedaan. Inilah makna sejati dari Bhinneka Tunggal Ika,” tutupnya.
Sebagai penutup dalam sambutannya di Puncak Waisak, Menag kembali mengajak semuanya untuk merenungi serta berkontemplasi untuk kembali mengenali diri.