Disebut Kampung Para Dewa, Bena mengajak kita menyaksikan kehidupan zaman purba.
Kabut tebal di pagi hari membawa hawa dingin menusuk tulang tak menghalangi keceriaan anak-anak Kampung Bena bermain di pekarangan rumah mereka. Suara tawa renyah dan teriakan-teriakan gembira memenuhi ruang udara kawasan adat di ketinggian 2.245 meter di atas permukaan laut.
Bena, demikian nama kawasan yang berada di Pulau Flores tepatnya di Desa Tiworiwu, Kecamatan Jerebu’u, Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur. Jika dilihat dari udara, komplek rumah-rumah di perkampungan adat Bena yang tersusun rapi memanjang seolah mirip sebuah kapal di ujung tebing
Letaknya dikelilingi dataran tinggi berhutan bambu dan beringin yang menghijau sepanjang masa. Gunung Inerie yang tampak berdiri kokoh menyerupai bentuk piramida di kejauhan menjadi puncak tertinggi dan seolah menjaga keberadaan Bena.
Pada sebelah timur ada Bukit Wolo Ra dan bagian selatannya kita dapat menyaksikan indahnya pantai Pulau Flores. Tepat di utara Bena ada Bukit Manulalu yang banyak dibangun vila dan jika malam hari memantulkan lampu mirip kunang-kunang.
Tata letak permukiman di kampung ini memiliki makna dan filosofi tersendiri. Pintu masuk ke perkampungan ini menghadap Gunung Inerie. Rumah di Bena yang berjumlah 45 unit membentuk kawasan menyerupai bentuk huruf U. Bangunan rumah penduduknya terbuat dari kayu dan atapnya yang bermodel tinggi ditutupi oleh bahan dari anyaman alang-alang dan dikenal sebagai keri dan mampu bertahan hingga 30 tahun.
Seluruh material bangunan harus diambil dari lingkungan sekitar dan pantang mengambilnya dari luar. Rumah dibangun dengan tetap mempertahankan kontur asli tanahnya yaitu didirikan di atas tumpukan batu-batu alam yang tingginya bisa mencapai tubuh orang dewasa bahkan hingga 3 meter.
Itulah sebabnya bentuk perkampungan Bena menyerupai kawasan berundak-undak. Perkampungannya dihuni 57 kepala keluarga atau sekira 368 jiwa. Bena telah ada sejak 12 abad silam dan dijuluki sebagai kampung para dewa.
Terdapat 9 suku yang mendiaminya yakni Tizi Azi, Tizi Kae, Wato, Deru Lalulewa, Deru Solamai, Ngada, Khopa, Ago, dan Bena selaku suku tertua yang dianggap sebagai pendiri kampung. Kaum laki-laki kampung adat Bena mengelola kebun dengan menanam kakao, kemiri, dan cengkeh. Sedangkan kaum hawa lebih banyak menenun kain untuk dijual sebagai cenderamata kepada wisatawan yang banyak berkunjung ke tempat ini.
Kampung Bena dikenal sebagai kawasan yang masih menyisakan budaya zaman purba dan Ketika mengunjunginya kita bagaikan sedang menembus lorong waktu. Hal ini ditandai oleh kehadiran batu-batu besar dari zaman megalitikum yang dipergunakan sebagai meja untuk ritual adat, bentuknya lonjong dan dinamakan sebagai Watu Lewa. Batu lain yang berfungsi sebagai meja diberi nama Nabe dan di ujung utara kampung ada bongkahan batu besar sebagai kursi persidangan.
Turbupati, demikian masyarakat Bena menyebutnya, bentuknya seperti tempat duduk dan hanya boleh diduduki kepala suku guna menari solusi dari suatu masalah yang dihadapi masyarakat di Bena.
Tak hanya peninggalan batu-batu besar saja yang dapat kita temu jika bertandang ke Bena ini pasalnya terdapat pula bangunan yang disebut sebagai nga’du dan bhaga yang masing-masing jumlahnya 9 buah disesuaikan dengan jumlah suku di kampung itu. Nga’du dan bhaga ditempatkan saling berhadapan pada kisanatapat atau halaman tengah kampung.
Keduanya adalah simbol leluhur kampung. Nga’du berarti simbol nenek moyang laki-laki dan bentuknya menyerupai batu runcing yang menjulang dengan tiang kayu beratap ijuk hingga membentuk mirip pondok peneduh. Sedangkan bhaga adalah simbol nenek moyang perempuan yang bentuknya menyerupai miniatur rumah penduduk.
Pada bagian depan rumah penduduk Bena terlihat hiasan tanduk dan rahang kerbau serta taring babi dipajang menggantung sebagai simbol status sosial orang Bena. Hiasan itu didapat dari hewan-hewan yang dikorbankan setiap suku ketika upacara adat dilaksanakan.
Bukan Sekadar Rumah
Rumah bagi orang Bena bukan sekadar tempat tinggal dan berdiam karena juga menjadi tempat berkumpul untuk menikmati hidup dan menyelesaikan persoalan bersama-sama. Banyak petuah dipesankan tetua adat dari dalam rumah kepada anak-cucu ketika diadakan kegiatan berkumpul sekaligus mengenang jasa leluhur dan nenek moyang Bena.
Kampung Bena dapat dicapai menggunakan kendaraan sewa dari Bajawa dengan jarak tempuh sekitar 22 kilometer ke arah selatan Bajawa. Rute ini menyajikan jalanan menurun dan tanjakan serta penuh kelokan tajam. Jika dari Labuan Bajo, Bajawa dapat ditempuh sekitar 7–8 jam melalui perjalanan darat. Kampung Bena merupakan salah satu destinasi utama di Kabupaten Ngada dan acap dikunjungi wisatawan mancanegara terutama dari Eropa seperti Jerman dan Italia.
Kampung ini akan membuka diri untuk dikunjungi sejak pukul 8.00 Wita hingga 17.00 Wita. Pengunjung lokal akan dikenai karcis masuk senilai Rp20.000 per orang. Sedangkan wisatawan asing dikenai tarif Rp25.000 per orang. Ketentuan itu sudah diberlakukan sejak 2013. Tokoh adat akan menyambut setiap wisatawan yang berkunjung dengan mengalungkan selendang. Dana yang diterima pihak kampung dari karcis akan digunakan tetua adat merawat dan mengelola kampung para dewa. (Atikel diolah dari Indonesia.go.id, Foto: Ist)