Jemparingan adalah olahraga panahan khas Kerajaan Mataram yang berasal dari Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Keberadaan jemparingan dapat ditelusuri sejak awal keberadaan Kesultanan Yogyakarta.
Pada awalnya, permainan ini hanya dilakukan di kalangan keluarga Kerajaan Mataram, dan dijadikan perlombaan di kalangan prajurit kerajaan. Namun seiring waktu, jemparingan mulai diminati dan dimainkan oleh banyak orang dari kalangan rakyat biasa.
Dilansir dari halaman Indonesia.go.id, seni memanah ini telah dikenal sejak zaman Sri Sultan Hamengku Buwono I, yang mendorong pengikutnya untuk belajar memanah sebagai sarana membentuk watak ksatria. Watak ksatria yang dimaksud adalah sawiji, greget, sengguh, dan ora mingkuh. Artinya yaitu konsentrasi, semangat, rasa percaya diri, dan bertanggung jawab.
Filosofi Jemparingan
Jemparingan berbeda dengan panahan lain yang berfokus pada kemampuan untuk membidik target dengan tepat. Seni memanah ini bertujuan untuk pembentukan watak. Hal berbeda lainnya yaitu dilakukan dalam posisi duduk bersila.
Pemanah jemparingan dalam memahan didasarkan dengan perasaan, maka dari itu pemanah akan memosisikan busur di hadapan perut. Gaya memanah ini sejalan dengan filosofi jemparingan gaya Mataram itu sendiri, pamenthanging gandewa pamanthening cipta, yang memiliki makna bahwa manusia yang bercita-cita hendaknya berkonsentrasi penuh pada cita-citanya agar dapat tercapai.
Perlengkapan Jemparingan
Seni memanah ini memiliki nama sendiri untuk perlengkapan yang menyertainya. Jemparing atau anak panah terdiri atas deder atau batang anak panah, bedor atau mata panah, wulu atau bulu pada pangkal panah, dan nyenyep atau bagian pangkal dari jemparing yang diletakkan pada tali busur saat memanah.
Untuk busur dinamakan gandewa yang terdiri dari cengkolak atau pegangan busur, lar atau bilah yang terdapat pada kiri dan kanan cengkolak, dan kendheng atau tali busur. Sementara itu, sasarannya disebut wong-wongan atau bandulan yang berbentuk silinder tegak.
Pada bagian atas, silinder diberi warna merah, dinamakan molo atau kepala. Bagian bawah diberi warnah putih, dinamakan awak (badan). Lalu pertemuan antara molo dan awak diberi warna kuning setebal 1 cm dinamakan jangga (leher).
Di bawah bandulan digantung sebuah bola kecil, dimana pemanah akan mendapat pengurangan nilai bila mengenai bola ini. Sementara di bagian atasnya digantung lonceng kecil yang akan berdenting setiap kali jemparing mengenai bandulan.
Perlengkapan jemparingan bersifat pribadi dan sulit dipinjamkan. Hal ini dikarenakan dibuat khusus oleh pengrajin yang disesuaikan dengan postur tubuh pemanah.
Seiring perkembangan zaman, jemparingan pun mulai mengalami beberapa perubahan. Kini terdapat berbagai cara memanah serta bentuk sasaran yang dibidik. Selain itu, dalam membidik juga tidak lagi membidik dengan posisi gandewa, namun dapat dengan mata. Meskipun begitu, semua tetap berpijak pada filosofi jemparingan sebagai sarana untuk melatih konsentrasi.
Setelah sempat terancam hampir punah karena peminatnya semakin sedikit, kini seni memanah tradisional ini mulai diminati kembali oleh generasi muda, terutama di lingkungan Yogyakarta. Di lingkungan Keraton Yogyakarta, permainan jemparingan rutin dilaksanakan setiap minggu. Para pemanah, dalam busana khas Jawa yaitu kebaya, batik, surjan, kain batik dan blangkon, baik wanita maupun pria, merentang busur untuk menempa hati. Memusatkan pikiran dan konsentrasi untuk sebuah tujuan yang ingin dicapai. (Anisa Kurniawati-Sumber: Indonesia.go.id)