Batik Lasem, berasal dari Kecamatan Lasem Kabupaten Rembang, Jawa Tengah ini merupakan hasil akulturasi budaya Tiongkok-Jawa. Batik ini berbeda dengan batik dari daerah lain. Hal ini dapat dilihat dari warna dominan merah seperti budaya Tiongkok
Kota Lasem yang berada di Kabupaten Rembang sering dikenal sebagai kota batik.
Nama Lasem sendiri tercatat dalam sejarah Nusantara dan Tionghoa selama beberapa abad. Hal tersebut membuktikan bahwa Lasem menjadi tujuan para perantau asal Tionghoa. Dari sinilah kemudian meninggalkan hasil karya yang terkenal dengan sebutan Batik Lasem.
Perkembangan batik Lasem konon dimulai sejak kedatangan masyarakat Tiongkok di Lasem. Pada saat itu tokoh yang memperkenalkan teknik membatik adalah Na Li Ni atau Si Putri Campa istri Bi Nang Un, seorang anggota ekspedisi Cheng He (1405-1433) pada abad ke-15.
Kemudian, sekitar 1860-an, mulai berdirilah banyak perusahaan batik yang dibangun oleh orang-orang Tionghoa Lasem. Pada masa itu, perusahaan Batik merupakan usaha yang paling menguntungkan setelah perusahaan candu, hingga diekspor secara besar-besaran ke Singapura dan Sri Lanka.
Baca juga: Menelusuri Filosofi Motif Batik Khas Indonesia
Dulunya, jumlah pembatik di Lasem berjumlah sekitar 4.300 yang semuanya kebanyakan perempuan. Kemudian pada akhir abad ke-19, dipekerjakan pekerja laki-laki yang saat itu bertugas sebagai pembuat batik cap. Jelang 1970-an batik Lasem mulai mengalami kemunduran. Tadinya perusahaan batik pada tahun 1970an mencapai 144 perusahaan dan pada tahun 2015 hanya terdapat 30 perusahaan saja di seluruh Kabupaten Rembang.
Setelah batik diakui sebagai warisan dunia oleh UNESCO pada tahun 2009, batik tradisional yang sempat mengalami penurunan kini mulai bangkit kembali. Perlahan saat ini mulai banyak rumah batik yang tumbuh di seluruh Rembang.
Corak Indah Batik Lasem
Batik Lasem dikenal karena coraknya yang bercirikan batik peTionghoan. Ciri khas dari batik ini adalah warna merahnya yang disebut getih pitik artinya ‘darah ayam’. Disebut begitu, karena dulunya bubuk pewarna yang rata-rata dari Jerman atau Eropa itu dicampur dengan air Lasem sehingga warnanya berubah menjadi merah.
Pola batik biasanya diturunkan dari generasi sebelumnya lewat pembatik-pembatik yang sepuh-sepuh. Motif batik yang belum terdokumentasi dengan baik, cenderung diingat dalam memori para pembatiknya. Hal ini pun memunculkan kekhawatiran, karena ketika diturunkan oleh generasi terdahulu terkadang tanpa mengetahui makna simboliknya, terutama yang berhubungan dengan simbol Tionghoa-Jawa.
“Kita paling tahu misalnya kupu-kupu itu maknanya kecantikan, bunga peoni keindahan, burung hong kecantikan. Nanti kalau embah-embah yang mbatik sudah meninggal ya motifnya juga ikut bersama terkubur bersama mereka.” Kata Reny pewaris Batik Ong’s Art Maranatha, seperti yang dikutip dari laman nationalgeographic.co.id.
Baca Juga: Menjaga Warisan Tradisi Batik Dengan Teknologi AI
Kisah batik lawas yang direproduksi pun menjadi kisah yang sering disebut sebagai pakem “dari sananya sudah begitu”.
Padahal, motif tersebut memiliki simbolisme yang diambil dari kisah sejarah, alam, dan budaya Jawa-Tionghoa. Misalnya saja seperti motif batu kricak yang motif diambil dari pecahan-pecahan batu masa pembuatan Jalan Raya Pos zaman Daendels.
Ada juga motif kawung Mbagan, kawung suketan, latohan dan banyak lainnya.
Menurut tim peneliti dari Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia pada tahun 2021, diperkirakan sementara ada motif tunggal batik Lasem berjumlah 50 buah dan motif tunggal akulturasi Tionghoa berjumlah 64 motif. Jumlah ini masih terus bertambah.
Dengan kembalinya gairah batik lasem, generasi muda di Rembang Lasem diharapkan dapat mengetahui kisah dan makna motif batik. Sehingga perasaan ‘hanya menggambar’ saja akan berkurang.