Wayang Kulit Cirebon merupakan salah satu ragam wayang kulit tradisional asli Indonesia. Perkembangannya sendiri telah ada sejak masa Hindu-Budha ke masa Islam di wilayah Kesultanan Cirebon. Dulunya, kesenian ini digunakan sebagai bentuk diplomasi dakwah.
Di Cirebon, kesenian wayang kulit juga berperan penting dalam penyebaran Islam di daerah Cirebon yang dilakukan Wali Songo. Wayang Kulit Cirebon dibuat terutama dari kulit sapi atau kulit kerbau yang diberi kerangka dari bambu dan pegangan yang disebut cempurit.
Setiap wayang memiliki bentuk, wajah, dan warna yang khas sesuai dengan karakteristik dan sifat masing-masing tokoh. Wayang kulit di Cirebon juga biasa dikenal sebagai Wayang Purwa karena dipandang sebagai jenis wayang paling awal.
Berfungsi Religius
Kemunculan Wayang Cirebon tidak terlepas dari peranan Sunan Kudus pada tahun 1583. Setelah menyebar di Jawa, kesenian ini juga masuk ke Cirebon hingga menyebar ke daerah lain di Jawa Barat. Pada saat itu, wayang golek banyak dipentaskan dalam bahasa Jawa, namun kurang begitu populer.
Seiring waktu, Wayang yang biasa terbuat dari kulit, diganti bahan papan tipis. Pada abad 19 ke abad 20, wayang ini mulai berbentuk seperti boneka dan dikenal sebagai wayang golek hingga saat ini.
Dalam pementasannya di Cirebon, wayang golek dipentaskan dalam Bahasa Sunda sehingga digemari oleh masyarakat luas. Setiap pementasan wayang golek, sang dalang selalu menyisipkan cerita yang mengandung pesan moral.
Di Cirebon, wayang golek memiliki sebutan khusus yaitu wayang bendo atau wayang cepak. Hal ini dikarenakan tutup kepala wayang berbentuk seperti bendo atau rambut yang dicepak.
Wayang kulit dipentaskan dalam berbagai acara seperti perayaan kelahiran, sunatan, pernikahan, ataupun upacara tolak bala. Wayang kulit tidak hanya sarana hiburan namun juga memiliki fungsi religius yang muatan dakwah dan pesan-pesan keagamaan.
Baca juga: Wayang Orang Sriwedari, Kesenian Solo yang Masih Lestari
Duta Diplomasi
Dilansir dari laman cirebonkota.go.id, para Wali Songo mempengaruhi bentuk wayang kulit di Cirebon. Ciri khas Wayang Kulit Cirebon adalah menggunakan pakaian, sementara wayangnya berwarna cat kehijauan dengan bentuk tatahan halus.
Pakem Wayang Cirebon sering mengacu pada Kitab Ramayana dan Mahabharata. Dengan tujuan untuk penyebaran agama Islam itu sendiri, oleh Sunan Panggung (Sunan Kalijogo) ceritanya dibuat bernafaskan Islam dan diperbarui sesuai dasar-dasar ajaran agama Islam.
Tokoh punakawan pun menjadi 9 orang yang melambangkan jumlah 9 orang Wali Songo. Tokoh tersebut adalah Semar, Bagong, Ceblek, Gareng, Dawala, Cingkring, Witorata, Bagol Buntung, dan Curis.
Wayang Cirebon memiliki visualisasi ala wayang Hindu yang masih tersisa kuat. Hal inilah yang membuat wayang Cirebon dianggap sebagai wayang kuna. Namun, saat ini mulai dikreasikan dengan pengaruh Islam.
Baca juga: Wayang Beber, Wayang Tertua di Indonesia
Misalnya wayang Gunungan Jaler kreasi Rastika dari Gegesik menampilkan wujud Ganesha yang tersusun atas kaligrafi Arab, berlafalkan kalimat tahlil, shalawat, dan syahadat. Ada juga wayang tokoh Panakawan Cungkring dengan kalung yang bertuliskan lafaz “Allah”.
Pementasan wayang kulit, lebih sering menggunakan bahasa pengantar dialek Cirebon. Namun setelah tahun 1980, bahasa yang digunakan dicampur dengan bahasa Indonesia yang bertujuan agar masyarakat terutama anak muda memahami isi ceritanya.
Hingga kini Wayang Cirebon tetap menjadi duta diplomasi yang menyatukan berbagai budaya, kisah-kisah epik India, ajaran tarekat, hiburan modern dan lainnya.