Agus Noor, sastrawan berkebangsaan Indonesia yang telah menulis banyak puisi, prosa, naskah lakon (monolog dan teater) hingga skenario sinetron. Kepiawaiannya dalam menulis telah mengantarkan ia memenangkan berbagai penghargaan.
Agus Noor lahir di Tegal, Jawa Tengah, pada 26 Juni 1968. Sejak muda, Agus Noor telah berkecimpung di dunia sastra dengan menulis karya-karya puisi dan prosa. Memiliki latar belakang pendidikan Jurusan Teater, Institut Seni Indonesia (ISI), Yogyakarta.
Meskipun berlatar belakang pendidikan teater, ia dikenal sebagai cerpenis, penulis prosa, dan naskah panggung dengan gaya parodi yang terkadang satir. Agus merasakan pengalaman berkarya yang berbeda-beda di setiap era pemerintahan, dimulai dari Orde Baru.
Saat itu, ia aktif dalam pergerakan mahasiswa. Dari situlah lahir karya-karya satir sosial-politiknya. Salah satunya buku Bapak Presiden yang Terhormat (1998), yang saat itu disensor dengan diberikan judul berbeda, yaitu Peang.
Dilansir dari halaman indonesiakaya.com, Agus Noor tidak ingin dikotak-kotakkan sebagai penulis yang bisa dideskripsikan, hanya karena banyak menulisi sindiran sosial-politik. Dia ingin terbuka akan banyak hal dan tidak terikat dalam satu tema.
Penulis Produktif dan Serbabisa
Agus Noor dikenal sebagai penulis produktif yang menulis banyak karya dalam bentuk cerita pendek, prosa, puisi, naskah lakon, serta skenario televisi. Strateginya untuk terus produktif adalah selalu menginventariskan ide yang muncul, memperbanyak bacaan, dan memaksakan diri untuk menulis dalam keadaan apa pun.
Seolah tak cukup menjadi penulis serbabisa, penulis satu ini juga menjadi creative director untuk banyak pertunjukan musik dan teater. Bersama Butet Kartaredjasa dan Djaduk Ferianto, ia menggagas Indonesia Kita, komunitas yang pertunjukan-pertunjukannya bertujuan mengedukasi publik tentang pluralisme dalam Indonesia.
Karya Agus Noor
Penulis yang saat ini sudah berusia 56 tahun ini, telah menulis banyak karya. Cerpennya dimuat dalam Antologi Ambang (1992), Pagelaran (1993), Lukisan Matahari (1994). Sedangkan cerpen-cerpennya yang terhimpun dalam antologi bersama, di antaranya Lampor (Cerpen Pilihan Kompas, 1994), Jalan Asmaradana (Cerpen Pilihan Kompas, 2005), Kitab Cerpen Horison Sastra Indonesia (Majalah Horison dan The Ford Foundation, 2002), dan Dari Pemburu ke Tapuetik (Majelis Sastra Asia Tenggara dan Pusat Bahasa, 2005
Buku-bukunya juga menjadi best-seller dari tahun ke tahun, seperti Memorabilia (2000), Selingkuh Itu Indah (2001), Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia (2007), Ciuman yang Menyelamatkan dari Kesedihan (2010), Cerita buat Para Kekasih (2014), Cinta Tak Pernah Sia-sia, dan Barista Tanpa Nama (2018).
Bersama Ayu Utami, ia menulis naskah Sidang Susila untuk merefleksikan dan mengkritik Rancangan Undang-Undang Anti-Pornografi. Karya lainnya yaitu: Rendezvous: Kisah Cinta yang Tak Setia (Galang Press, 2004), Potongan Cerita di Kartu Pos (Penerbit Buku Kompas, 2006), Sebungkus Nasi dari Tuhan, Sepasang Mata Penari Telanjang, Matinya Toekang Kritik (Lamalera, 2006).
Selain itu, Agus Noor juga dikenal sebagai penulis naskah panggung. Monolog Matinya Toekang Kritik adalah salah satu karyanya yang menertawakan keadaan Indonesia. Naskah ini, kemudian diusung sebagai program Sentilan Sentilun yang ditayangkan oleh stasiun televisi Metro TV. (Anisa Kurniawati-Berbagai Sumber)