Menelusuri sejarah nama dan asal usul Kulon Progo adalah hal yang menarik untuk dibahas. Sebagai salah satu kabupaten di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Kulon Progo memiliki posisi strategis yang berbatasan dengan beberapa daerah lain.
Di timur, kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten Sleman dan Kabupaten Bantul, sementara di selatan menghadap langsung ke Samudera Hindia. Di sisi barat, Kulon Progo berbatasan dengan Kabupaten Purworejo, dan di utara terdapat Kabupaten Magelang.
Sebelum resmi dibentuk pada 15 Oktober 1951, wilayah Kulon Progo terbagi menjadi dua kabupaten yang berbeda. Pertama adalah Kabupaten Kulon Progo yang merupakan bagian dari Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan kedua adalah Kabupaten Adikarta yang termasuk dalam wilayah Kadipaten Pakualaman.
Wilayah Kasultanan
Laman Pemkab Kulon Progo menyebut, sebelum terjadinya Perang Diponegoro (1825-1830), daerah ini tidak memiliki pejabat pemerintahan yang secara resmi menguasai wilayah.
Saat itu, pemerintahan dipegang pepatih dalem yang berada di Ngayogyakarta Hadiningrat. Namun, setelah perang, muncul perubahan yang signifikan dengan dibentuknya empat kabupaten, masing-masing dipimpin seorang tumenggung. Kabupaten itu adalah Kabupaten Pengasih (1831), Kabupaten Sentolo (1831), Kabupaten Nanggulan (1851), dan Kabupaten Kalibawang (1855).
Selanjutnya, keempat kabupaten ini digabung menjadi satu pada tahun 1912 dan dinamai Kabupaten Kulon Progo, dengan ibu kota di Pengasih dan bupati pertama yang menjabat adalah Raden Tumenggung Poerbowinoto.
Wilayah Kadipaten Pakualaman
Di bagian selatan, terdapat wilayah yang dikenal sebagai Kabupaten Adikarto, merupakan bagian dari Keprajan Kejawen. Dalam catatan ‘Vorstenlanden’, sekitar tahun 1813, Pangeran Notokusumo, yang diangkat menjadi KGPA Ario Paku Alam I, mendapatkan palungguh di sebelah barat Sungai Progo.
Mengingat letak tanah pelungguh yang tersebar, Kyai Kawirejo I mengusulkan menyatukan daerah yang melahirkan Kabupaten Karang Kemuning. Di bawah pemerintahan bupati kedua, R. Rio Wasadirdjo, Paku Alam V memerintahkan pengeringan rawa-rawa di Kabupaten Karang Kemuning, yang kemudian dialihfungsikan menjadi lahan pertanian subur. Sejak itu, nama Kabupaten Karang Kemuning diubah menjadi Kabupaten Adikarto oleh Sri Paduka Paku Alam V.
Baca Juga: Menggali Makna Sumbu Kosmologis Yogyakarta
Pada 5 September 1945, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Pakualam VIII menyepakati bahwa kedua daerah, baik Kasultanan maupun Pakualaman, merupakan wilayah yang berstatus istimewa dalam Negara Republik Indonesia.
Beberapa tahun kemudian, mereka mulai mempertimbangkan penggabungan Kabupaten Kulon Progo dengan Kabupaten Adikarta. Kesepakatan itu melahirkan UU No. 18 tahun 1951 yang ditetapkan pada 12 Oktober 1951 dan diundangkan pada 15 Oktober 1951. Kesepakan mengatur penggabungan kedua kabupaten tersebut dalam lingkungan DIY menjadi satu kabupaten yang bernama Kulon Progo. Tanggal 15 Oktober ditetapkan sebagai Hari Jadi Kabupaten Kulon Progo.
Asal Usul Nama Kulon Progo
Terkait asal usul nama Kulon Progo, ada satu penjelasan yang cukup populer di kalangan masyarakat. Dalam bahasa Jawa, ‘Kulon Progo’ berarti ‘barat Progo’, di mana ‘kulon’ berarti ‘barat’ dalam bahasa Indonesia. ‘Progo’ merujuk pada Sungai Progo yang membatasi wilayah ini di bagian timurnya. Hal ini menjelaskan mengapa daerah ini dikenal sebagai Kulon Progo. (Sumber: dpad.jogjaprov.go.id)