Buka Egek, tradisi melestarikan yang dilakukan Suku Moi di Papua. Tradisi ini biasanya diawali dengan proses peluncuran perahu dan kembali membawa hasil bumi. Esensi dari tradisi adalah mengambil dari alam secukupnya.
Papua dikenal akan keberagaman suku dan budaya. Salah satu adalah Suku Moi yang dinilai memiliki budaya cukup tinggi, bahkan sangat bersahabat dengan lingkungannya. Berada di daerah bagian pesisir utara di dataran Papua, Suku Moi kini banyak ditemui di sebagian daerah Distrik Makbon, Kabupaten Sorong, Papua Barat Daya.
Sejak zaman dahulu suku Moi merupakan suku yang terbiasa melaut. Kini pun, Suku Moi dan perahu tidak bisa dipisahkan. Perahu dalam bahasa Moi disebut ‘kama’. Cirinya yaitu adanya susung (bangunan seperti rumah) yang berfungsi sebagai tempat melindungi diri dan barang.
Perahu khas suku Moi dibuat dari kayu selawaku yang merupakan kayu yang berasal dari tanah Moi. Perahu tersebut biasanya digunakan untuk balobe atau ‘mencari’ ikan saku.
Baca Juga: Noken, Warisan Budaya Papua Menanti Sentuhan Generasi Muda
Disamping itu, Suku Moi dikenal selalu menerapkan tradisi egek, yang merupakan tradisi menjaga alam dengan mengambil secukupnya dari alam. Itu pulalah sebabnya, suku Moi lebih senang menggunakan perahu adat, ketimbang perahu bermesin.
Esensi dari tradisi egek sendiri adalah mengambil secukupnya dan tidak mengeksploitasi kekayaan alam secara berlebihan. Contohnya, bila masyarakat adat suku Moi memiliki hajat tertentu, seperti membangun fasilitas umum yang membutuhkan dana besar, mereka akan berembuk dan mengadakan acara ‘buka egek’.
Buka egek merupakan waktu bagi Suku Moi untuk melaut, mengambil hasil bumi untuk dipergunakan jika terdapat kebutuhan tertentu. Selain itu, buka egek juga berlaku untuk sumber daya alam lainnya, seperti tanah dan hutan yang masih masuk wilayah suku Moi.
Biasanya anggota dari masing-masaing marga akan menyampaikan apa yang mereka butuhkan. Hal tersebut disampaikan kepada seluruh anggota adat. Saat sudah menemui kesepakatan, maka diambil untuk membuka atau menutup egek untuk hasil laut atau hutan.
Baca Juga: Café Dangdut New York, Perkenalkan Rasa dan Ritme Indonesia
Nantinya, hasil dari pembukaan egek dijual dan hasilnya dikumpulkan untuk memenuhi kebutuhan bersama. Hasil egek bukan untuk dimakan bersama. Egek diibaratkan seperti deposito dari alam yang dijaga untuk diambil manfaatnya.
Berkat kegigihan Suku Moi dalam mempertahankan egek sebagai upaya pelestarian lingkungan hidup, suku itu diakui sebagai kelompok MHA oleh Pemerintah Kabupaten Sorong pada 2017. Oleh karena itu, MHA Suku Moi berhak atas wilayah kelola yang dilindungi oleh hukum seluas sekitar 4.000 hektare di perairan dan 16.000 hektare di daratan. (Anisa Kurniawati- Sumber: Indonesia.go.id)