Cut Meutia atau Tjut Meutia, yang dikenal juga dengan nama Cut Nyak Meutia, merupakan salah satu tokoh perempuan pejuang asal Aceh yang menjadi simbol perlawanan terhadap penjajahan Belanda.
Lahir pada tahun 1870 sebagai putri Teuku Ben Wawud, seorang uleebalang dari Perak, Aceh, Cut Meutia telah menunjukkan keteguhan hati dan keberaniannya sejak usia muda.
Melawan Belanda
Dilansir dari Perpustakaan Museum Pergerakan Wanita Indonesia, ketika mencapai usia dewasa Meutia dijodohkan dengan Teuku Syam Sareh. Namun, pernikahan yang diatur tanpa persetujuan keduanya itu tidak berjalan baik, dan akhirnya mereka berpisah.
Kemudian, Cut Meutia menikah dengan adik Teuku Syam Sareh, yakni Teuku Cut Muhammad atau Teuku Cik Tunong. Bersama suaminya, Cut Meutia memulai perjuangan melawan Belanda.
Teuku Cik Tunong tidak tunduk pada perjanjian pendek yang ditandatangani kakaknya dengan Belanda. Sebagai pemimpin yang berkomitmen pada perjuangan rakyat Aceh, ia mengorganisir 12 pria tangguh untuk bergabung dengan pasukan Sultan Aceh.
Bersama mereka, ia melakukan sabotase terhadap infrastruktur Belanda, termasuk merusak rel kereta api yang digunakan untuk mengangkut pasukan kolonial.
Baca juga: Dewi Sartika Pelopor Pendidikan Perempuan di Tanah Sunda
Ahli Strategi Perang
Cut Meutia selalu berada di sisi suaminya dalam perjuangan bersenjata. Semangat perlawanan terus berkobar, meski kondisi pejuang muslimin melemah akibat tekanan kolonial semakin kuat.
Setelah Teuku Cik Tunong ditangkap Belanda dan dihukum mati, Cut Meutia harus melanjutkan perjuangan seorang diri. Dalam kondisi fisik yang lemah akibat kekurangan gizi dan perawatan, ia tetap gigih melawan penjajahan.
Setelah melahirkan anak kembar yang meninggal tak lama setelah lahir, ia kembali memimpin pasukan muslimin. Dengan keberanian dan keahliannya dalam strategi perang, ia memimpin kaum perempuan dan melindungi mereka dari ancaman musuh. Saat perang, ia menerapkan taktik serang dan mundur dan prajuritnya memata-matai gerak gerik pasukan lawan.
Baca juga: Tugu Ali Anyang, Monumen Perjuangan Pahlawan Dayak
Pahlawan Nasional
26 September 1910, saat pasukannya beristirahat di Alue Kurieng, mereka diserang mendadak pasukan Belanda pimpinan Christoffel. Dalam pertempuran ini, sang pejuang terluka parah.
Meski kakinya tertembak parah, ia tetap memegang pedang di tangannya hingga gugur. Sebelum menghembuskan napas terakhir, ia berpesan agar putranya, Teuku Raja Sabi, diselamatkan.
Perjuangannya pun dikenang sebagai simbol keberanian dan pengorbanan. Pemerintah Indonesia, melalui Keputusan Presiden No. 107 Tahun 1964, menganugerahkan gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional kepada Cut Meutia atas jasa-jasanya dalam melawan penjajahan. (Dari berbagai sumber)