Lahir pada tahun 1997 di Dusun Ngabean, Desa Maduretno, Kecamatan Kalikajar, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah, seniman Feri Setiawan, kini dikenal sebagai seorang maestro muda alat musik tradisional Bundengan.
Sebagai anak keempat dari Munir, maestro alat musik tradisional Bundengan senior, Feri telah menorehkan namanya sebagai salah satu pelestari alat musik tradisional khas daerahnya.
Perjalanan Feri menjadi seorang seniman Bundengan dimulai sejak tahun 2015, ketika ia berusia 18 tahun. Awalnya, Feri sering mendengar ayahnya memainkan Bundengan di rumah.
Rasa penasaran itu mendorongnya untuk mencoba sendiri alat musik Bundengan. Hanya dengan beberapa kali latihan secara autodidak, Feri mampu memahami dan menguasai Bundengan.
Sejak saat itu, ia rajin berlatih setiap hari, hingga kemahirannya terus berkembang. Feri pun tampil di berbagai acara bergengsi, seperti Festival Musik Tembi di Solo pada 26-31 Oktober 2024, yang merupakan konser alat musik tradisional berskala nasional. Selain itu, ia juga pernah memukau penonton dalam acara Gelar Budaya di Candi Borobudur.
Di Kabupaten Wonosobo, Feri juga kerap mengisi sebagai musisi Bundengan pada event budaya maupun tradisi yang sering diselenggarakan. Menurut Feri, kecintaannya pada Bundengan lahir karena keunikan dan kelangkaan alat musik ini.
“Bundengan itu asyik kalau ditekuni. Karena langka dan tidak banyak yang bisa memainkannya, saya merasa harus melestarikannya,” ujar Feri.
Ia juga mengajak generasi muda untuk ikut nguri-uri atau menjaga kelestarian Bundengan agar lebih dikenal masyarakat luas. Salah satu momen berkesandalam karier Feri adalah keterlibatannya dalam EMMA Voice Konser Bundengan yang diselenggarakan Emma Media Nusantara (Emmanus TV) di Alun-Alun Wonosobo, 22 Desember 2024.
Acara ini mengusung konsep kolaborasi antara Bundengan dan alat musik modern, seperti biola, cak, cuk, dan gitar. Feri Setiawan mengaku merasa tertantang untuk mensinkronkan permainan Bundengan dengan alat musik lainnya.
“Kolaborasi ini menyenangkan sekaligus menantang. Saya harus belajar cara baru memainkan Bundengan agar bisa menghasilkan keselarasan dan harmoni dengan alat musik modern,” kata Feri.
Kolaborasi ini membuktikan, Bundengan mampu mengikuti perkembangan zaman tanpa kehilangan identitasnya. Feri mendukung penuh ide kolaborasi Bundengan dengan musik modern.
“Teknik memainkan Bundengan untuk lagu populer itu berbeda. Ketika dimainkan sendiri, fokusnya satu suara. Tapi saat dikolaborasi, saya harus menyatukan Bundengan dengan alat musik lain. Ini tantangan sekaligus cara untuk membuat Bundengan semakin dicintai dan dikenal luas,” tuturnya.
Ke depan, Feri berharap semakin banyak generasi muda yang mau belajar dan melestarikan Bundengan. “Bundengan adalah aset budaya sekaligus identitas Wonosobo. Saya berharap alat musik ini tetap hidup dan semakin dikenal, terutama anak-anak muda,” pungkasnya.