Gudeg, salah satu warisan kuliner Yogyakarta yang selalu dicari banyak orang. Hidangan ini berbahan utama nangka muda atau gori yang direbus dengan gula merah dan santan. Kuliner yang telah ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda ini ternyata lahir dari kaum pekerja di masa pembangunan Kerajaan Mataram.
Yogyakarta dikenal sebagai kota gudeg. Kuliner ini bisa dengan mudah dinikmati saat pagi, siang, atau malam hari. Tak hanya tersedia di restoran mewah, gudeg juga banyak dijajakan di pasar atau pedagang kaki lima yang bisa dinikmati sambil melihat suasana Kota Jogja.
Hidangan yang menjadi ionik kota Jogja ini terbuat dari nangka muda atau gori yang dimasak selama 12 hingga 15 jam hingga teksturnya menjadi sangat empuk. Selain itu, penambahan bumbu-bumbu seperti ketumbar, kemiri, lengkuas, daun salam, bawang putih, bawang merah, gula jawa, dan santan, membuat gudeg memiliki cita rasa manis dan gurih.
Terdapat 2 jenis gudeg, yaitu gudeg kering dan gudeg basah. Gudeg yang umum ditemui di jogja sendiri adalah gudeg kering. Proses pengolahan gudeg ini dilakukan melalui tahap penggorengan (goreng-tumis) yang lebih lama sehingga kadar airnya menjadi lebih kering.
Sedangkan, berdasarkan bahan bakunya, gudeg terbagi menjadi 3 macam, yaitu gudeg gori (nangka muda) yang mudah kita temui di berbagai sudut kota Yogyakarta, gudeg rebung (biasanya terdapat di restoran-restoran), dan gudeg manggar (gudeg istimewa yang dibuat dari bunga kelapa yang masih muda).
Gudeg manggar yang menjadi favorit Sultan Hamengkubuwono X , biasanya hanya disajikan hanya pada acara-acara khusus saja. Menjadi istimewa karena gudeg ini proses pengolahannya membutuhkan waktu selama kurang lebih satu malam, meski bumbunya sama dengan gudeg gori.
Lahir dari Kaum Pekerja
Jika menilik sejarah lahirnya gudeg, melansir dari laman National Geographic, gudeg ternyata dibuat oleh kaum pekerja pada masa pembangunan Kerajaan Mataram di Alas Mentaok. Pada 1500, awal berdirinya kerajaan Mataram Islam di sekitar kawasan Kotagede, tepatnya di Alas Mentaok, banyak pohon buah yang ditebang.
Di antaranya yaitu pohon nangka muda atau gori, ditebang karena dianggap selalu berlimpah dan tidak memiliki nilai jual. Hal tersebut membuat masyarakat sekitar dan kaum pekerja berkreasi membuat sajian dengan bahan dasar nangka muda.
Salah satunya adalah sayur gori yang direbus di dalam kuali besar selama berjam-jam ditambah dengan berbagai bumbu tercipta potongan-potongan nangka lembut dan berwarna cokelat yang memiliki cita rasa manis. Pada saat itu porsi memasaknya besar karena untuk ratusan pekerja, sehingga makanan ini harus terus diaduk menggunakan sendok kayu besar.
Dalam Bahasa Jawa, teknik mengaduk tersebut disebut hangudek atau hangudeg. Istilah yang kemudian menjadi inspirasi nama sayur gori menjadi “gudeg” seperti yang kita kenal selama ini. Gudeg biasanya disajikan bersama nasi bersama makanan pendamping lain seperti sambal goreng krecek, opor ayam, telur pindang, dan tempe tahu bacem.
Gudeg ternyata juga memiliki banyak makna filosofi tersirat. Prosesnya yang lama, mempresentasikan bahwa hidup harus bersabar dan banyak bersyukur. Dulunya, makanan ini juga sering dijadikan sebagai makanan nazar atau makanan sebagai wujud rasa syukur.
Saat ini perkembangan penjualan gudeg semakin luas, tidak hanya dijual langsung di warung atau restauran, namun juga dibuat dalam bentuk siap saji. Gudeg kadang dijual dalam bentuk makanan kaleng yang berisi gudeg setengah matang dan sudah dilengkapi bumbu. Selain itu ada juga yang masih berupa rebusan dan dimasak sendiri. (Anisa Kurniawati-Berbagai sumber)