By using this site, you agree to the Privacy Policy and Terms of Use.
Accept
emmanus.comemmanus.comemmanus.com
  • Beranda
  • Berita
  • Profil
  • Event
  • Tradisi
  • Warisan Budaya
  • Cerita Rakyat
  • Pariwisata
Reading: Hujan Bulan Juni, Warisan Abadi Pujangga Sapardi Djoko Damono
Share
Notification Show More
Font ResizerAa
emmanus.comemmanus.com
Font ResizerAa
Search
  • Berita Kategori
    • Berita
    • Profil
    • Event
    • Tradisi
    • Pariwisata
    • Cerita Rakyat
    • Warisan Budaya
Follow US
©2024 PT Emma Media Nusantara. All Rights Reserved.
emmanus.com > Blog > Profil > Hujan Bulan Juni, Warisan Abadi Pujangga Sapardi Djoko Damono
Profil

Hujan Bulan Juni, Warisan Abadi Pujangga Sapardi Djoko Damono

Achmad Aristyan
Last updated: 29/12/2024 05:16
Achmad Aristyan
Share
Sapardi Djoko Damono, sastrawan legendaris Indonesia. Foto: pendidikanindonesia-fib.ub.ac.id
SHARE

Sapardi Djoko Damono adalah sosok yang tak tergantikan dalam dunia sastra Indonesia. Penyair ini dikenal sebagai figur yang mampu menjembatani generasi dengan karya-karya lirisnya, merangkul pembaca lintas usia. 

Bahkan di masa senja, ia sukses memperkenalkan puisi bagi kalangan muda, termasuk pelajar sekolah.  Mahakaryanya, “Hujan Bulan Juni” menjadi ikon yang hidup dalam berbagai bentuk. 

Puisi ini lahir dari perenungan Sapardi akan anomali cuaca di bulan Juni saat ia menempuh pendidikan di Yogyakarta dan Surakarta. Ditulis sekali jadi pada tahun 1989, karya ini bersanding dengan puisi romantis lainnya, seperti “Aku Ingin”.

Reda Gaudiamo, murid sekaligus pelantun utama puisi-puisi Sapardi, mengakui bahwa karyanya selalu ditunggu para penikmat seni. Lagu Hujan Bulan Juni, yang diciptakan bersama Ari Malibu, menjadi salah satu simbol keberhasilan musikalisasi puisi di Indonesia. 

Meski awalnya tanpa izin, Sapardi justru bersyukur karena musikalisasi itu membuat puisinya abadi. 

Karya yang Menembus Generasi

Melansir dari ensiklopedia.kemdikbud.go.id, Sapardi telah menciptakan ribuan puisi dan menerbitkan puluhan buku yang diterjemahkan ke berbagai bahasa.

Beberapa di antaranya, seperti “Duka-Mu Abadi” (1969), “Hujan Bulan Juni” (1994), dan “Ayat-Ayat Api” (2000), menjadi rujukan wajib bagi penikmat sastra. 

Bukan hanya sebagai penyair, Sapardi juga berperan penting dalam membangun dunia sastra Indonesia. Ia mendirikan Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia (HISKI) dan Yayasan Lontar bersama tokoh-tokoh seperti Goenawan Mohamad dan Umar Kayam. Yayasan ini bertujuan memperkenalkan sastra Indonesia ke dunia internasional.

Inspirasi Penuh Imajinasi

Lahir pada 20 Maret 1940 di Solo, Sapardi memiliki masa kecil yang penuh warna. Ia tumbuh di lingkungan yang memungkinkannya berinteraksi dengan berbagai kalangan. 

Namun, perpindahan keluarga ke daerah terpencil di Solo Utara saat ia remaja menjadi titik balik yang membuatnya lebih banyak merenung dan mencipta. Sapardi mengaku bahwa kesunyian membantunya mengeksplorasi dunia batin. 

Momen-momen sederhana masa kecilnya dihidupkan kembali dalam bentuk puisi. Salah satu karyanya yang pertama kali dimuat di media adalah Tjerita Burung pada 1958.

Lebih dari Sekadar Penyair

Sebagai akademisi, Sapardi menjadi Guru Besar emeritus di Universitas Indonesia dan penerjemah ulung. Ia juga dikenal sebagai pengamat tajam yang menghindari gaya protes dalam puisinya. 

Bahasanya sederhana namun kaya makna, menjadikannya sosok yang dekat dengan pembaca dari berbagai lapisan. Hingga akhir hayatnya pada 19 Juli 2020, Sapardi Djoko Damono tetap menjadi panutan bagi penyair muda. 

Karya-karyanya tak hanya sekadar puisi, tetapi juga menjadi medium untuk berbuat baik dan menyentuh hati banyak orang. “Hujan Bulan Juni” sebagai contoh, telah bertransformasi menjadi novel, film, hingga inspirasi bagi karya seni lainnya.

Sapardi adalah bukti bahwa puisi dapat melampaui batas-batas waktu dan generasi, menyampaikan pesan-pesan kebaikan yang abadi. 

You Might Also Like

Kue Keranjang Ny. Lauw, Ikon Tradisi Imlek Sejak Tahun 60an

Feri Setiawan, Maestro Muda Bundengan dari Wonosobo

Radhar Panca Dahana, Sang Sastrawan Pemberontak

Mengapa Surakarta Disebut Sala atau Solo? Begini Sejarahnya

Iwan Fals, Musisi “Wakil Rakyat” Legendaris

Sign Up For Daily Newsletter

Be keep up! Get the latest breaking news delivered straight to your inbox.
[mc4wp_form]
By signing up, you agree to our Terms of Use and acknowledge the data practices in our Privacy Policy. You may unsubscribe at any time.
Share This Article
Facebook X Copy Link Print
Share
By Achmad Aristyan
Content Writer
Previous Article batik betawi Batik Betawi, Warna dan Motif Penuh Filosofi Identitas Jakarta
Next Article Lalampa, Nasi Ikan Daun Pisang Khas Pulau Sula Maluku Utara
Leave a comment Leave a comment

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Social Media

2kFollowersLike
4kFollowersFollow
2.4kSubscribersSubscribe
18kFollowersFollow
- Advertisement -
Ad imageAd image

Berita Terbaru

Munusa Championship Digelar di Wonosobo, Wadah Kreativitas dan Sportivitas Pelajar
Berita 30/05/2025
Indonesia dan Prancis Bangun Kemitraan Budaya untuk Pererat Hubungan Diplomatik
Berita 29/05/2025
Kodim Wonosobo dan Bulog Jemput Bola Serap Gabah Petani Sojokerto
Berita 29/05/2025
penulisan ulang sejarah Indonesia
DPR Setujui Proyek Penulisan Ulang Sejarah Indonesia, Target Rampung Tahun 2027
Berita 28/05/2025
- Advertisement -

Quick Link

  • Kontak Kami
  • Tentang Kami
  • Kebijakan Privasi
  • Pedoman Media Siber

Top Categories

  • Profil
  • Event
  • Tradisi
  • Warisan Budaya

Stay Connected

200FollowersLike
4kFollowersFollow
2.4kSubscribersSubscribe
18kFollowersFollow
emmanus.comemmanus.com
Follow US
© 2024 PT Emma Media Nusantara. All Rights Reserved.
Welcome Back!

Sign in to your account

Nama Pengguna atau Alamat Email
Kata Sandi

Lupa kata sandi Anda?