Sapardi Djoko Damono adalah sosok yang tak tergantikan dalam dunia sastra Indonesia. Penyair ini dikenal sebagai figur yang mampu menjembatani generasi dengan karya-karya lirisnya, merangkul pembaca lintas usia.
Bahkan di masa senja, ia sukses memperkenalkan puisi bagi kalangan muda, termasuk pelajar sekolah. Mahakaryanya, “Hujan Bulan Juni” menjadi ikon yang hidup dalam berbagai bentuk.
Puisi ini lahir dari perenungan Sapardi akan anomali cuaca di bulan Juni saat ia menempuh pendidikan di Yogyakarta dan Surakarta. Ditulis sekali jadi pada tahun 1989, karya ini bersanding dengan puisi romantis lainnya, seperti “Aku Ingin”.
Reda Gaudiamo, murid sekaligus pelantun utama puisi-puisi Sapardi, mengakui bahwa karyanya selalu ditunggu para penikmat seni. Lagu Hujan Bulan Juni, yang diciptakan bersama Ari Malibu, menjadi salah satu simbol keberhasilan musikalisasi puisi di Indonesia.
Meski awalnya tanpa izin, Sapardi justru bersyukur karena musikalisasi itu membuat puisinya abadi.
Karya yang Menembus Generasi
Melansir dari ensiklopedia.kemdikbud.go.id, Sapardi telah menciptakan ribuan puisi dan menerbitkan puluhan buku yang diterjemahkan ke berbagai bahasa.
Beberapa di antaranya, seperti “Duka-Mu Abadi” (1969), “Hujan Bulan Juni” (1994), dan “Ayat-Ayat Api” (2000), menjadi rujukan wajib bagi penikmat sastra.
Bukan hanya sebagai penyair, Sapardi juga berperan penting dalam membangun dunia sastra Indonesia. Ia mendirikan Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia (HISKI) dan Yayasan Lontar bersama tokoh-tokoh seperti Goenawan Mohamad dan Umar Kayam. Yayasan ini bertujuan memperkenalkan sastra Indonesia ke dunia internasional.
Inspirasi Penuh Imajinasi
Lahir pada 20 Maret 1940 di Solo, Sapardi memiliki masa kecil yang penuh warna. Ia tumbuh di lingkungan yang memungkinkannya berinteraksi dengan berbagai kalangan.
Namun, perpindahan keluarga ke daerah terpencil di Solo Utara saat ia remaja menjadi titik balik yang membuatnya lebih banyak merenung dan mencipta. Sapardi mengaku bahwa kesunyian membantunya mengeksplorasi dunia batin.
Momen-momen sederhana masa kecilnya dihidupkan kembali dalam bentuk puisi. Salah satu karyanya yang pertama kali dimuat di media adalah Tjerita Burung pada 1958.
Lebih dari Sekadar Penyair
Sebagai akademisi, Sapardi menjadi Guru Besar emeritus di Universitas Indonesia dan penerjemah ulung. Ia juga dikenal sebagai pengamat tajam yang menghindari gaya protes dalam puisinya.
Bahasanya sederhana namun kaya makna, menjadikannya sosok yang dekat dengan pembaca dari berbagai lapisan. Hingga akhir hayatnya pada 19 Juli 2020, Sapardi Djoko Damono tetap menjadi panutan bagi penyair muda.
Karya-karyanya tak hanya sekadar puisi, tetapi juga menjadi medium untuk berbuat baik dan menyentuh hati banyak orang. “Hujan Bulan Juni” sebagai contoh, telah bertransformasi menjadi novel, film, hingga inspirasi bagi karya seni lainnya.
Sapardi adalah bukti bahwa puisi dapat melampaui batas-batas waktu dan generasi, menyampaikan pesan-pesan kebaikan yang abadi.