Di Kabupaten Langkat, Sumatra Utara, masih terdapat sebuah tradisi yang dikenal sebagai Upacara Jamu Laut, di mana masyarakat pesisir menggelar ritual ini sebagai bentuk pelestarian alam. Tradisi Jamu Laut berkaitan erat dengan kehidupan nelayan Melayu. Di Desa Jaring Halus, tradisi ini sudah berlangsung sejak desa tersebut dibuka oleh Abu Bakar, seorang perantau dari Malaysia pada tahun 1917.
Sejak pembukaan desa, Abu Bakar, yang berprofesi sebagai nelayan, dikatakan membuat kesepakatan dengan makhluk halus yang menjaga desa tersebut. Ia berjanji untuk memberikan persembahan sebagai syarat untuk bisa tinggal di Desa Jaring Halus. Abu Bakar kemudian menjadi pawang laut pertama di desa itu, dan ritual ini diwariskan dari generasi ke generasi. Para keturunannya yang kemudian akan dipilih menjadi pawang laut.
Disebutkan bahwa sosok pawang laut dari kalangan keturunan Abu Bakar akan ditunjuk secara langsung oleh “hantu laut”. Sementara itu, menurut penelitian Daniel Fernando Hutapea dan Bahrul Khair Amal yang dimuat dalam “Journal of Education Humaniora dan Social Science”, tradisi Jamu Laut dilaksanakan berdasarkan permintaan makhluk laut yang disampaikan melalui pawang laut.
Pelaksanaan ritual ini biasanya dimulai ketika banyak nelayan yang jatuh sakit setelah melaut, atau ada orang yang mengalami kecelakaan di laut. Pada saat itulah tradisi Jamu Laut dilakukan. Prosesinya dimulai dengan penyembelihan kambing sebagai kurban. Daging kambing akan dimasak menjadi gulai untuk dinikmati bersama oleh seluruh peserta upacara. Sedangkan bagian kepala dan kulit kambing, serta jenis makanan lainnya, akan diletakkan di atas bale-bale, yakni tempat persembahan yang dibuat khusus dan ditinggikan. Setelah itu, doa-doa akan dipanjatkan, lalu diakhiri dengan makan bersama di pantai.
Dostry Amisha menjelaskan bahwa selama tradisi Jamu Laut berlangsung, terdapat beberapa pantangan, salah satunya adalah tidak boleh ada aktivitas apapun di laut, baik oleh nelayan maupun masyarakat umum. Selain itu, mengambil barang yang jatuh selama waktu pantang juga dilarang.
Tradisi ini terus dilakukan oleh masyarakat setempat, meski frekuensinya hanya setiap tiga tahun sekali. Seiring dengan masuknya agama Islam, upacara Jamu Laut mengalami sedikit perubahan, di mana kini lebih dimaknai sebagai interaksi antara manusia dengan makhluk laut untuk menyampaikan rasa syukur.
Selain sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkah laut yang melimpah, masyarakat juga berharap bahwa pelaksanaan upacara ini dapat mendatangkan keamanan bagi kawasan tersebut serta meningkatkan perekonomian warga pesisir.
Tidak hanya melibatkan prosesi persembahan dan doa, tetapi Tradisi Jamu Laut juga diramaikan dengan berbagai festival. Beberapa di antaranya adalah festival kuliner, pameran produk laut, serta berbagai perlombaan, seperti lomba perahu hias. (Achmad Aristyan – mediacenter.serdangbedagaikab.go.id)