Semakin tua semakin jadi. Kalimat ini mungkin paling tepat menggambarkan sosok seniman bernama asli Nuri Sarinuri, yang lebih dikenal sebagai Mpok Nori.
Lahir di Depok pada 10 Agustus 1930, penggiat seni tradisional Betawi ini bukan hanya seorang komedian legendaris tetapi juga menjadi ikon seni tradisional, khususnya di Jakarta.
Di usia senja hingga akhir hayatnya, Mpok Nori tetap memikat generasi muda dengan gaya khasnya, mulai dari pandai bersiul, bermain silat, hingga teriakan rocker yang menghidupkan suasana.
Pelopor Seni Betawi
Dilansir dari Wikipedia, nama Mpok Nori seringkali berada di bawah bayang-bayang seniman Betawi lainnya seperti Benyamin Sueb atau Haji Bokir. Sebagai perempuan, perjuangannya dalam seni Betawi jarang mendapat sorotan.
Meski demikian, kontribusinya sangat signifikan, terutama dalam membawa dan mempopulerkan seni tradisional Betawi, seperti lenong, dari jalanan ke panggung besar dan televisi.
Di tengah minimnya literatur tentang perjalanan hidupnya, sebuah skripsi berjudul Kiprah Mpok Nori dalam Mengembangkan Kesenian Betawi (1968-1995) karya Imas Yosita dari Universitas Indonesia menjadi sumber penting.
Imas bahkan berkesempatan mewawancarai seniman Betawi itu secara langsung pada 2014, memberikan gambaran bahwa di balik kehebohannya di panggung, dia adalah sosok yang serius dan pendiam dalam kehidupan sehari-hari.
Baca juga: Batik Betawi, Warna dan Motif Penuh Filosofi Identitas Jakarta
Dari Ronggeng ke Ikon Komedi
Perjalanan Nori di dunia seni dimulai sebagai Ronggeng Topeng, penari utama tari topeng Betawi. Perannya jauh dari kesan komedi, karena fokusnya menyampaikan nasihat lewat tarian.
Namun, segalanya berubah ketika ia bergabung dengan Grup Topeng Setia Warga yang dipimpin Haji Bokir di akhir 1960-an. Dalam grup ini, dia dilatih melucu dan mendalami bodoran atau bagian komedi dalam lenong tradisional.
Perubahan ini mencerminkan perkembangan lenong yang mulai memasukkan unsur humor sebagai daya tarik utama. Meski awalnya sulit, dia berhasil menjadi salah satu pelawak perempuan Betawi yang paling dikenang.
Pada tahun 2011, Mpok Nori menerima KOMBRED Award dari Yayasan Komedi Betawi atas dedikasinya. Dua tahun kemudian, ia kembali menerima penghargaan dari Persatuan Seniman Komedi Indonesia (PASKI).
Kontribusi karya itu akhirnya diakui pemerintah DKI Jakarta dengan menjadikannya salah satu nama jalan di Ibu Kota. Jalan Mpok Nori di Cipayung, Jakarta Timur, menjadi pengingat akan dedikasinya mengangkat seni dan budaya Betawi.
Darah Seni Mengalir Sejak Lahir
Lahir dari keluarga seniman Betawi Pinggiran, Mpok Nori tumbuh di tengah tradisi seni yang kental. Kedua orang tuanya, Baba Kenan dan Mak Kemah, adalah seniman topeng yang sering tampil di acara-acara adat. Mulai tampil di usia muda, saat itu dia menggantikan ibunya sebagai ronggeng.
Seiring waktu, keluarga mereka dikenal sebagai Grup Topeng Gang Makyong yang sering tampil di acara pernikahan dan khitanan. Mpok Nori juga belajar dari Na’ih bin Dji’un, seorang seniman topeng ternama sekaligus kakak Haji Bokir.
Inspirasi Budaya
Mpok Nori bukan sekadar komedian, tetapi simbol ketekunan dan cinta terhadap seni tradisional. Ia berhasil mengubah persepsi masyarakat terhadap seni Betawi, dari sesuatu yang dianggap kampungan menjadi kebanggaan budaya.
Mpok Nori tutup usia pada 3 April 2015 di usia 84 tahun. Kepergiannya meninggalkan duka mendalam bagi dunia seni Betawi. Bahkan, kabar wafatnya menjadi trending di Twitter, membuktikan pengaruhnya yang melampaui generasi.
Kini, meski ia telah tiada, semangat dan dedikasinya terus hidup melalui karya-karyanya, penghargaan yang diraihnya, dan jejaknya di dunia seni Betawi. Nama Mpok Nori akan selalu menjadi inspirasi bagi seniman muda yang ingin melestarikan budaya Indonesia. (Dari berbagai sumber)