Pada abad ke-18, di tepi sungai Letang-sekarang termasuk daerah di Dusun Burung Mandi, Desa Mengkubang, Kecamatan Manggar, Kabupaten Belitung, Provinsi Kepulauan Bangka-Belitung-hiduplah seorang petani bergelar “Datuk Letang” dan istrinya.” Meskipun telah lama menikah, mereka belum dikaruniai anak.
Demi memenuhi kebutuhan hidup, mereka bertani padi dan menangkap ikan dengan menggunakan alat penangkap ikan dari bambu yang disebut bubu. Meski telah berusaha keras untuk memiliki anak, mereka belum berhasil. Mereka pun akhirnya hanya bisa pasrah.
Suatu hari, Datuk Letang pergi ke sungai untuk memeriksa hasil tangkapan ikannya. Namun, yang ia temui hanya sepotong bambu yang tersangkut pada bubu. Ia merasa hari itu bukan rejekinya dan segera menyingkirkan bambu dari bubu.
Anehnya, setiap kali bambu itu disingkirkan, ia selalu kembali masuk ke dalam bubu. Setelah beberapa kali kejadian itu, akhirnya bambu itu dibawa pulang Datuk Letang dan diberikan kepada istrinya. Istrinya pun menggunakan bambu tersebut sebagai alat penindih tikar untuk menjemur padi.
Baca juga: Kerbau Sakti Tolelembunga, Legenda Masyarakat Sulawesi Tengah
Bayi Dari Bambu Belah
Suatu ketika, saat istri datuk mengusir ayam yang hendak memakan padi dengan sepotong kayu kecil, tanpa sengaja ia memukul bambu itu dan membelahnya menjadi dua. Tiba-tiba, terdengar suara tangisan bayi yang keras yang membuatnya terkejut.
Setelah didekati, ia menemukan bayi laki-laki yang terbungkus dua lapis kain yakni Cindai (lapisan luar) dan Cukin (lapisan dalam). Istri Datuk Letang pun menggendong dan memeluk bayi dengan penuh kebahagiaan, akhirnya mendapatkan anak yang selama ini mereka impikan.
Bayi itu tumbuh dengan sangat cepat, jauh lebih cepat dari bayi pada umumnya. Dalam waktu singkat, bayi itu sudah bisa berbicara, mengaji, dan melaksanakan sholat meski tidak ada yang mengajarinya. Keajaiban ini membuat datuk dan istrinya semakin bahagia.
Namun, meski kebahagiaan menyelimuti keluarga kecil itu, Datuk Letang merasa cemas dan malu. Ia adalah orang sakti dan disegani banyak orang. Konon datuk dapat melakukan hal di luar nalar, seperti mengayuh perahu hanya dengan dua kali dayung sampai Pulau Jawa untuk membeli garam. Datuk pun mampu mengusir bajak laut tanpa senjata.
Baca juga: Kisah Raden Segoro dan Awal Mula Pulau Madura
Namun, ia merasa tidak bisa mengikuti anak angkatnya yang begitu taat menjalankan ajaran Islam. Perasaan malu itu akhirnya membuat Datuk Letang memutuskan meninggalkan keluarganya. Ia diam-diam mempersiapkan sebuah perahu di sebuah pulau kecil di pantai Burung Mandi dan pergi tanpa berpamitan kepada istri dan anak angkatnya.
Sejak saat itu, tidak ada kabar yang terdengar tentang Datuk Letang. Istri dan anak angkatnya sangat bersedih dengan kepergian Datuk Letang. Namun, seiring berjalannya waktu, mereka mulai melupakan kesedihan itu. Anak angkat itu pun tumbuh menjadi seorang pemuda yang tampan dan gagah serta taat menjalankan agama Islam. Untuk memenuhi kebutuhan hidup, mereka masih berladang padi dan menangkap ikan di sungai dan laut.
Kesaktian Datuk Temiang Belah
Anak angkat ini kemudian dikenal dengan nama Datuk Temiang Belah, melanjutkan perantauannya ke berbagai daerah untuk menyebarkan agama Islam. Ia dikenal luas di seluruh negeri dan memiliki kesaktian yang luar biasa.
Di dalam perjalanan hidupnya, Datuk Temiang Belah menikah dan memiliki anak bernama Dalip, yang kemudian menjadi seorang raja di daerah yang terletak di muara sungai Lenggang, dikenal dengan nama Tanah Genting atau Keramat Genting. Raja Dalip kemudian diberi gelar “Keria Lenggang Berdarah Pute.”
Selain dikenal sebagai penyebar agama Islam, Datuk Temiang Belah juga terkenal dengan kesaktiannya. Salah satu kisahnya, ia dapat memotong batu gunung menjadi tiga bagian tanpa alat pemotong. Batu-batu itu kini ada di Pantai Samak Manggar dan dikeramatkan masyarakat setempat.
Ia juga berhasil memadamkan kebakaran besar yang melanda Kerajaan Mataram hanya dengan seceret air. Atas keberhasilan itu, Kerajaan Mataram memberinya hadiah berupa Parang Kuting yang kemudian ia ubah menjadi Keris Berlok Tujuh. Selain itu, ia juga dikenal karena menciptakan berbagai benda pusaka, seperti Pedang 41 macam, Gong Tuli, Kelinang, dan Tombak Berambu. Beberapa benda pusaka ini kini disimpan di Museum Tanjung Pandan di Belitung.
Baca juga: Museum Kata, Jejak Karya Sastra Andre Hirata di Belitung
Datuk Temiang Belah akhirnya dimakamkan secara simbolis di Puncak Gunung Tajam, sesuai dengan pesan terakhirnya. Ia berpesan agar dimakamkan di tempat yang berada di antara langit dan bumi, dan sebagai wujud penghormatan, hanya tikar, bantal, dan kucing peliharaannya yang dimakamkan di sana. Makam ini hingga kini dikenal dengan nama Keramat Gunung Tajam.
Selain itu, Datuk Temiang Belah juga meninggalkan pesan kepada keturunannya untuk melaksanakan upacara adat Turun Tangga Tebu. Upacara ini masih dilaksanakan hingga kini, dengan ketentuan bahwa anak laki-laki dan keturunannya akan melaksanakan upacara dengan tujuh tingkatan tangga tebu. Sedangkan anak perempuan hanya pada turunan pertama dengan tiga tingkatan.
Ada pula pantangan bagi keturunannya, seperti tidak boleh memakan sayuran dari rebung bambu dan tidak boleh memukul dengan bambu atau benda yang berbuku. Demikianlah cerita singkat tentang legenda Datuk Temiang Belah, yang dikenang sebagai seorang penyebar agama Islam yang sakti dan dihormati oleh masyarakat sekitar. (Diolah dari berbagai sumber)