Sebuah kisah rakyat dengan beragam versi beragam di tanah Flores, utamanya suku Lamaholot. Syahdan, paceklik melanda daerah Flores, Nusa Tenggara Timur. Paceklik itu menyebabkan bencana kelaparan hebat di wilayah itu.
Keluarga Jedo Pare Tonu Wujo, termasuk salah satu yang mengalami kelaparan itu. Keluarga ini terdiri dari delapan bersaudara -tujuh laki-laki dan satu perempuan. Jedo Pare merupakan anak bungsu dan satu-satunya perempuan.
Saat paceklik terjadi, Jedo mengajak saudara-saudaranya pergi ke hutan. Tujuannya satu: untuk mbabat alas yang akan dibuat. Hutan pun dibabat, lalu mereka memagarinya. Keesokan harinya, mereka berencana menanami sesuatu di kebun itu. Namun hari itu hujan lebat datang.
Keluarga itu kebingungan. Mereka pulang dan menangis tiada henti. Rencana menanam buyar. Di tengah keputusasaan itu, Jedo meyakinkan kakak-kakaknya agar tetap pergi bersama-sama ke kebun yang bakal mereka kerjakan. “Tak perlu khawatir,” kata Jedo. “Lahan akan menyediakan bahan makanan yang melimpah buat kalian semua.”
Saudara-saudaranya terperangah. Mereka akhirnya mengikuti nasihat adik bungsunya itu. Tiba di kebun, Jedo meminta mereka memancangkan sebatang kayu di tengah lahan. Ia juga minta agar saudara-saudaranya mencari batu ceper besar untuk diletakkan berdampingan di batang kayu yang telah ditancapkan itu.
Jedo duduk bersila di atas batu ceper itu. Kepada saudara laki-lakinya termuda ia meminta melaksanakan pesan yang akan disampaikannya. Karena pesan itu sesuai dengan kehendak Yang Maha Kuasa (Leran Wulan, Tana Ekan).
“Inilah pesanku. Penggallah kepalaku. Jika aku sudah tidak bernyawa, biarkan darahku membasahi batu tempatku duduk sekarang. Biarkan ia mengalir ke seluruh pojok kebun ini. Setelah ini kamu semua boleh pulang ke rumah, dan enam hari lagi kamu boleh kembali lagi ke sini!”
Saudaranya terperangah. Namun ia tetap menuruti pesan saudaranya itu. Kepala adiknya dipenggal. Darah mengucur deras membasahi batu dan mengalir ke seluruh pojok kebun.
Dengan kesedihan mendalam, ketujuh lelaki bersaudara itu kembali ke rumah. Enam hari kemudian mereka datang kembali ke kebun itu. Betapa terkejutnya mereka. Ternyata pesan Jedo benar. Di kebun sudah tumbuh berbagai tanaman pangan seperti padi (taha), labu (besi), jewawut (weteng), jagung (wata), sorgum, dan ragam pangan lain yang mereka namai dengan nama-nama lokal.
Ketika musim panen tiba, seluruh hasil panen itu mula-mula dikumpulkan di atas batu ceper sebagai suatu peringatan sekaligus penghormatan kepada Jedo yang telah mengorbankan seluruh jiwa dan raganya demi kemakmuran saudara-saudarnya.
Cerita rakyat itu terus dipegang masyarakat setempat. Dalam cerita itu terkandung makna, ladang merupakan tempat aneka ragam tanaman tumbuh seperti dalam kisah Jedo itu. Pemikiran untuk menyeragamkan pangan harus ditata ulang. Seperti kata pepatah bijak: makanlah apa yang ditanam dan tanamlah apa yang bisa dimakan.
Legenda Jedo itu sampai saat ini masih dipegang teguh suku Lamaholot. Di setiap lahan selalu ada tiang pancang dan batu ceper yang mereka sebut Jedo Pare Tonu Wujo. Setiap akan menanam atau panen, mereka selalu meletakkannya di batu itu sebelum akhirnya di bawa ke lumbung. (Sumber: Infopublik)