Setiap daerah memiliki cerita rakyat yang mencerminkan budaya dan nilai-nilai masyarakatnya, dan salah satu legenda yang terkenal di Tegal, Jawa Tengah adalah kisah tentang Si Gringsing dan Si Kasur. Kisah ini bermula dari sepasang suami istri yang bernama Si Gringsing dan Si Kasur. Mereka adalah pengantin muda yang bahagia, di mana Si Gringsing bekerja sebagai petani, sementara Si Kasur bertugas mengantarkan makanan untuk suaminya di sawah.
Suatu hari, ketika Si Kasur terlambat tiba dengan makanan, Si Gringsing yang merasa lapar menemukan tiga telur di pematang sawah. Karena tidak dapat menahan rasa laparnya, ia pun mengambil dan memasak telur tersebut. Namun, setelah menyantapnya, Si Gringsing merasakan keanehan dan panas di seluruh tubuhnya.
Kondisi tubuhnya semakin buruk, dan dalam kepanikan, ia terjun ke Kali Gung untuk mendinginkan dirinya. Namun, alih-alih pulih, ia berubah menjadi ular. Ketika Si Kasur akhirnya tiba, ia sangat terkejut melihat suaminya yang kini telah menjelma menjadi ular. Dalam rasa cintanya yang mendalam, Si Kasur memutuskan untuk memakan sisa telur yang ditinggalkan Si Gringsing meskipun suaminya melarangnya.
Ketika ia melakukannya, ia pun merasakan panas yang sama dan berakhir dengan transformasi yang sama menjadi ular. Keduanya kemudian bertemu dengan seorang petapa yang dapat membantu mereka untuk kembali ke wujud manusia. Namun, petapa tersebut memberi syarat yang berat yaitu mereka tidak boleh bertemu untuk waktu yang lama.
Si Gringsing dan Si Kasur menyetujui syarat tersebut, dan petapa memisahkan mereka. Si Gringsing ditempatkan di Kali Gung, sementara Si Kasur berada di Bukit Sitanjung. Namun, rindu yang mendalam membuat Si Gringsing melanggar perjanjian. Meski sudah diingatkan oleh petapa untuk tidak bertemu, ia tetap nekat keluar dari sungai untuk melihat Si Kasur.
Akibatnya, ia tersambar petir yang mengakibatkan salah satu matanya buta. Legenda Si Gringsing dan Si Kasur ini tidak hanya mengisahkan tentang cinta dan pengorbanan, tetapi juga mengingatkan kita tentang konsekuensi dari tindakan kita. Masyarakat Tegal sering mengaitkan kisah ini dengan bencana alam seperti gempa bumi dan banjir, percaya bahwa bencana tersebut terjadi karena kerinduan kedua tokoh tersebut untuk bertemu.
Dengan berbagai versi yang berkembang di wilayah Bumijawa, Bojong, Lebaksiu, dan sekitarnya, cerita ini menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas budaya Tegal. Kisah ini merupakan contoh nyata dari bagaimana cerita rakyat dapat menyampaikan nilai-nilai moral, budaya, dan pelajaran kehidupan yang berharga, yang tetap relevan hingga saat ini.
Keberadaan Si Gringsing dan Si Kasur sebagai simbol cinta abadi dan kesetiaan, memberikan kita pelajaran bahwa cinta sejati tidak mengenal batas, meskipun terkadang harus menghadapi tantangan yang sulit. (Sumber: repositori.kemdikbud.go.id)