Kota Tegal di Jawa Tengah memiliki sebuah tradisi unik dan sarat makna yang dikenal sebagai “Mantu Poci”. Tradisi ini merupakan bagian dari budaya masyarakat pesisir Tegal yang kaya akan simbolisme dan harapan.
Secara harfiah, “mantu poci” berasal dari kata “mantu” yang berarti menggelar pernikahan, dan “poci,” yang merupakan wadah tembikar khas untuk menyeduh teh atau kopi.
Dalam tradisi ini, mantu poci dapat diartikan sebagai sebuah pesta pernikahan yang digelar untuk sepasang poci, yang melambangkan pernikahan antara sepasang manusia. Mantu poci tidak hanya sekadar ritual, tetapi juga mengandung berbagai tujuan simbolis dan sosial.
Tradisi ini biasanya digelar oleh pasangan suami-istri yang berharap untuk segera dikaruniai keturunan. Dengan menikahkan sepasang poci, mereka memanjatkan doa agar dapat segera mendapatkan anak yang diidamkan.
“Poci” di sini melambangkan pasangan suami istri, dan prosesi pernikahan poci ini dimaksudkan untuk memohon restu dari alam dan leluhur agar keinginan tersebut dapat terwujud.
Selain untuk memohon keturunan, “Mantu Poci juga mencerminkan rasa syukur dan kebanggaan” pasangan suami istri dalam berumah tangga.
Dengan menggelar acara ini, mereka merasa seperti orang tua yang telah berhasil mengantarkan “anak” mereka menuju pernikahan, dilambangkan melalui poci yang dihias dan diperlakukan layaknya mempelai.
Acara ini juga menjadi kesempatan bagi pasangan suami-istri untuk berkumpul dengan sanak saudara dan relasi, mempererat silaturahmi, dan membangun keharmonisan antarwarga. Prosesi mantu poci diadakan hampir menyerupai “resepsi pernikahan” pada umumnya.
Meskipun demikian, perbedaan utamanya terletak pada tokoh utama acara ini, yaitu sepasang poci yang dihias sebagai pengganti mempelai laki-laki dan perempuan. Poci-poci ini diletakkan di tempat yang biasanya diperuntukkan bagi pengantin manusia, lengkap dengan dekorasi pernikahan, serta tata cara yang mirip dengan pesta pernikahan pada umumnya.
Pada hari pelaksanaan, masyarakat sekitar turut diundang untuk menghadiri acara ini. Tamu undangan juga menyaksikan prosesi simbolik dari poci-poci tersebut sebagai bentuk penghormatan atas doa dan harapan yang dibawa oleh pasangan suami istri yang mengadakan acara.
Seperti halnya pernikahan adat, terdapat rangkaian acara seperti arak-arakan, doa bersama, serta jamuan makanan untuk para tamu. Suasana meriah biasanya terasa di lokasi acara, karena acara ini juga melibatkan hiburan seperti musik tradisional dan tarian khas Tegal.
Tradisi mantu poci umumnya dilakukan di beberapa wilayah pesisir Kota Tegal, seperti Kelurahan Muarareja, Cabawan, Kerandon, Tegalsari, Margadana, dan Tunon. Wilayah-wilayah ini masih memegang erat nilai-nilai budaya dan kearifan lokal yang diwariskan secara turun-temurun. Meskipun begitu, seiring dengan perkembangan zaman dan teknologi, “tradisi mantu poci semakin jarang ditemukan”.
Gaya hidup modern dan perubahan nilai sosial di kalangan generasi muda membuat tradisi ini lambat laun mulai ditinggalkan dan lebih sedikit masyarakat yang menggelarnya. Mantu poci tidak hanya merupakan tradisi yang unik, tetapi juga menyimpan “nilai-nilai filosofis yang mendalam”.
Pernikahan antara poci-poci ini melambangkan penyatuan dua hal yang sederhana namun penting dalam kehidupan sehari-hari, seperti teh dan kopi. Simbol ini seolah menggambarkan kesederhanaan hidup yang penuh makna, di mana kebersamaan adalah kunci menuju keharmonisan dan keberkahan dalam rumah tangga.
Selain itu, poci-poci yang dijodohkan menggambarkan “keselarasan dan keseimbangan” yang diharapkan terjadi dalam hubungan pernikahan manusia. Seperti pasangan poci yang saling melengkapi, demikian pula pasangan suami istri yang diharapkan dapat saling mendukung dalam kehidupan bersama.
Di tengah arus modernisasi, pelestarian tradisi mantu poci menjadi tantangan tersendiri bagi masyarakat Tegal.
Beberapa upaya telah dilakukan untuk memperkenalkan tradisi ini kepada generasi muda, salah satunya melalui “festival budaya atau perayaan khusus” di tingkat desa maupun kota. Festival ini bertujuan agar generasi muda memahami dan menghargai kearifan lokal yang diwariskan oleh leluhur mereka.
Meskipun jarang digelar, tradisi mantu poci tetap mendapat perhatian dari para pemerhati budaya dan masyarakat yang peduli akan keberlangsungan warisan budaya lokal.
Selain itu, mantu poci juga kerap ditampilkan dalam acara-acara kebudayaan yang diadakan oleh pemerintah daerah maupun komunitas budaya sebagai salah satu cara melestarikan identitas budaya Tegal. (Sumber: visitjawatengah.jatengprov.go.id)