Maria Yosephine Catherina Maramis, yang dikenal sebagai Maria Walanda Maramis, adalah seorang pahlawan nasional Indonesia. Maria dikenal atas dedikasinya meningkatkan pendidikan dan peran wanita Indonesia di awal abad ke-20. Dia dilahirkan tahun 1872 di Minahasa, Sulawesi Utara.
Masa Belia Sarat Tantangan
Dilansir dari Perpustakaan Museum Pergerakan Wanita Indonesia, Maria kehilangan kedua orang tuanya pada usia enam tahun. Sejak itu, ia diasuh paman dan bibinya.
Pada masa itu, adat di Minahasa masih membatasi pendidikan bagi anak perempuan, yang hanya diizinkan menamatkan sekolah dasar sebelum diarahkan untuk membantu pekerjaan rumah tangga atau menikah. Namun, Maria menunjukkan minat besar pada pengetahuan dan terus belajar dari lingkungan sekitarnya.
Paman Maria, Rotinsulu, adalah seorang tokoh terpandang dengan jaringan pergaulan yang luas. Hal ini memberi Maria kesempatan untuk berinteraksi dengan berbagai kalangan.
Maria pun berkesempatan menghadiri pesta-pesta yang diadakan masyarakat Belanda. Di situ, Maria tidak hanya mempelajari tata cara menerima tamu berpangkat tinggi, tetapi juga seni memasak dan mengurus rumah tangga.
Sekolah Rumah Tangga
Pada tahun 1890, Maria menikah dengan Yoseph Frederik Calusung Walanda. Selain mendidik anak-anaknya dengan baik, Maria mulai menyadari pentingnya pendidikan bagi perempuan di Minahasa.
Keterbatasan jumlah sekolah di wilayah itu membuat banyak anak tidak dapat melanjutkan pendidikan, terutama ke Pulau Jawa yang biayanya mahal. Untuk menjawab tantangan ini, Maria mengumpulkan sejumlah perempuan dan mendirikan organisasi “Percintaan Ibu Kepada Anak Turunannya” (PIKAT) pada tahun 1917.
Organisasi ini bertujuan memajukan pendidikan perempuan melalui kegiatan nyata. Salah satu pencapaian besar PIKAT adalah mendirikan sekolah rumah tangga bernama Huishoudschool PIKAT pada tahun 1918 di Manado.
Sekolah ini menerima lulusan sekolah dasar dan mengajarkan mereka keterampilan rumah tangga, memasak, dan membuat kerajinan tangan.
Perjuangan Melalui Media
Maria juga memanfaatkan surat kabar sebagai media propaganda untuk menyebarkan cita-cita PIKAT. Pendanaannya diperoleh dari penjualan hasil masakan, kue, dan kerajinan para murid.
Meskipun banyak mendapat tantangan dan kritik, Maria tidak gentar. Pada tahun 1920, kunjungan Gubernur Jenderal Van Limburg Stirum ke sekolah PIKAT menjadi momen bersejarah.
Sang istri gubernur Van Limburg Stirum sangat terkesan dan memberikan sumbangan sebesar 40.000 gulden untuk mendukung berbagai kegiatan sekolah yang didirikan Maria Maramis.
Warisan yang Abadi
Kesehatan Maria mulai menurun di usia senja, tetapi ia tetap aktif memperjuangkan nasib organisasi dan sekolah yang telah didirikannya. Kata-kata terakhirnya kepada Kepala Sekolah PIKAT, Nona H. Sumoleng, “Jangan lupakan PIKAT, anak-anak yang bungsu,” menjadi pesan yang sarat makna.
Maria meninggal pada Maret 1924, dalam usia 52 tahun. Sebagai penghargaan atas jasa-jasanya, Pemerintah Indonesia memberikan gelar Pahlawan Pergerakan Nasional kepada Maria Walanda Maramis pada 20 Mei 1969. (Dari berbagai sumber)