La Galigo adalah karya sastra terpanjang di dunia. Bagi sebagian masyarakat Bugis yang menganut kepercayaan Tolotang, La Galigo sebenarnya ialah kitab suci mereka. Isinya mengenai mitos penciptaan peradaban Bugis.
Indonesia memiliki kekayaan warisan budaya tulis yang sangat bernilai. Selain nilai historis, banyak naskah kuno juga memiliki nilai sastra yang artistik serta kaya akan nilai spiritual atau keagamaan.
Disertai Upacara Adat
Salah satu contohnya adalah La Galigo, juga dikenal sebagai Sureq Galigo atau hanya Galigo. Puisi epik ini awalnya dituturkan secara lisan. Kemudian pada abad ke-19 ditulis dalam bentuk puisi tradisional Bugis atau Lontara.
Dilansir dari Indonesia.go.id, keindahan bahasa dalam puisi ini memiliki kualitas sastra tinggi. Tradisi membacakan La Galigo dilakukan dengan cara dinyanyikan. Dikenal sebagai laoang atau selleang, dan biasanya disertai upacara adat.
Bagi penganut agama lokal, pembacaan La Galigo juga harus disertai ritual. Sebelum dibaca harus ada persembahan, sesaji, dupa, pemotongan ayam, atau kambing.
Pembacaan juga seperti membaca kitab suci tradisional yang penuh doa. Konon, fungsinya bisa menjadi “obat”.
Menghadapi Ancaman
Sayangnya, pemahaman masyarakat tentang teks-teks kuno Bugis mulai berkurang. Selain itu, juga dipengaruhi lemahnya penguasaan bahasa serta aksara Lontara. Sehingga pewarisan La Galigo menghadapi ancaman.
Ini karena Aksara Lontara Bugis, jarang dikuasai masyarakat. Apalagi pelestarian tradisional biasa dilakukan Bissu, pemuka agama lokal Bugis yang fungsi sosialnya menjadi termarginalisasikan. Hal ini berdampak pada semakin terpinggirkannya La Galigo.
Demi mencegah hilangnya warisan ini, Indonesia dan Belanda mengusulkan La Galigo ke daftar Warisan Dunia UNESCO. Sejak 2011, La Galigo dijadikan Memory of the World oleh UNESCO.
Alur Narasi
Merujuk deskripsi UNESCO, La Galigo berasal dari abad ke-14. Teks ini berpengaruh besar dalam cara sejarawan memandang peradaban Bugis sebelum Islam. Teks ini ditulis dalam puisi bahasa Bugis kuno, berbentuk sajak bersuku lima.
Naskah La Galigo menceritakan asal-usul manusia pertama di dunia. Tokoh utamanya Sawérigading, cucu Batara Guru. Cerita ini dimulai dengan turunnya Batara Guru ke bumi di wilayah Luwu.
Kemudian diikuti kisah cinta terlarang Sawérigading dengan saudara kembarnya, Wé Tenriabéng. Hingga membawa mereka ke petualangan di daratan China, dan melahirkan anak bernama La Galigo.
Menjadi Teks Populer
La Galigo menjadi teks populer karena:
Pertama, mengandung banyak episode. Kemudian cara penulisan memiliki aturan sastra yang ketat. Isinya pun memuat norma, konsep kehidupan, budaya, silsilah dewa, dan asal-usul orang Bugis.
Kedua, epos La Galigo juga ditemukan dalam berbagai versi. Fragen ini ditemukan di luar Sulawesi Selatan bahkan tersebar di perpustakaan Eropa maupun Amerika.
Ketiga, warisan budaya Bugis kuno yang tertera di La Galigo hingga kini masih dilakukan dalam kehidupan. Misalnya ritual mappaliliq (upacara turun ke sawah). Ada juga tradisi massureq atau maggaligo yaitu melagukan syair La Galigo.
Keempat, sejalan masuknya agama Islam, naskahnya terdapat unsur Islam.
Kelima, naskah ini menjadi lebih dibicarakan dunia. Hal ini terjadi setelah Robert Wilson membawanya ke panggung teater internasional. Dia sendiri adalah seorang sutradara terkenal dari Amerika Serikat.
Keenam, daya tarik dari La Galigo ialah ukuran keseluruhan teks tersebut sangatlah besar, terdiri dari 6.000 halaman folio atau 300.000 baris puisi. Bahkan diakui sebagai karya sastra terpanjang di dunia. Lebih panjang dari Mahabharata dan Ramayana, dan epik Yunani Homerus.