Galeri Seni Prabangkara di Taman Budaya Jawa Timur, Surabaya, menggelar pameran lukisan bertajuk “Doa Kasih Rupa” yang berlangsung selama enam hari dari Sabtu hingga Kamis (1-6/2/2025).
Dilansir dari infopublik.id, pameran ini menampilkan puluhan karya dari 18 perupa lokal yang tergabung dalam Komunitas Ilustrasi Idiom. Pesan yang disajikan bahwa seni tidak sekadar menyajikan keindahan visual, tetapi juga menjadi medium doa dan refleksi sosial.
Wakil Ketua Komunitas Ilustrasi Idiom, Ridwan SS menyampaikan doa tidak selalu harus berupa bahasa verbal, namun juga dapat mengalir melalui karya dengan menggunakan kanvas, garis, dan warna, membentuk makna yang lebih dalam dari sekadar keindahan visual, melainkan menjadi refleksi dari kondisi sosial yang pelaku seni rasakan
“Kita sehari-hari berdoa, kan? Tapi di sini, kami mencoba memanjatkan doa dalam bentuk lukisan. Selama gambar itu tidak luntur, selama itu pula doa kami terus mengalun,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa para seniman dalam pameran ini mengangkat berbagai keresahan sosial, lingkungan, dan politik dengan pendekatan yang lebih tenang dan sopan.
Namun, kritik yang tersirat tetap menjadi elemen utama dalam karya-karya yang dipamerkan.
Baca juga: Galeri Nasional Gelar Pameran Tribut Untuk Hardi (1951-2023)
Salah satu contoh kritik tersebut terlihat dalam karya Ridwan sendiri yang berjudul “Lembah Baliem”. Lukisan ini merupakan bentuk refleksi atas isu-isu lingkungan yang kembali mencuat sejak akhir 2024. Seperti eksploitasi sumber daya alam dan kontroversi pembangunan pagar laut di pesisir Tangerang.
“Isu deforestasi dan eksploitasi sumber daya makin mengkhawatirkan. Saya memilih tema alam sebagai subjek doa saya, berharap kita kembali ke keseimbangan lingkungan lebih baik,” imbuhnya.
Selain pameran lukisan, acara ini juga diisi dengan kegiatan melukis “On The Spot” (OTS) dan sarasehan yang menjadi ruang diskusi bagi para perupa dalam mendalami makna “Doa Kasih Rupa.”
Kritik Terselubung dalam Seni
Wakil Ketua Dewan Kesenian Jawa Timur (DKJT), Taufik Hidayat atau yang akrab disapa Cak Monyong, menilai bahwa pameran ini merupakan bentuk perlawanan yang halus namun tetap tajam. Menurutnya, seni selalu memiliki cara untuk menyuarakan kritik, bahkan tanpa perlu bersikap frontal.
“Kalau saya lihat lukisannya, ini semuanya sebenarnya berontak. Cuma caranya halus, tidak frontal. Tapi tetap tajam,” ujar Cak Monyong.
Ia menyoroti seni sering kali menjadi refleksi dari kondisi sosial yang terjadi. Menurutnya, seniman adalah kelompok yang tidak bisa dipisahkan dari perlawanan terhadap sistem yang menekan.
“Seniman selalu siap di garda depan untuk memberontak atas sistem, karena seniman tidak mau bodoh. Karena itulah, mereka sering ditekan, dijauhkan, bahkan ‘dibully’ secara ekonomi,” imbuhnya.
Lebih lanjut, Cak Monyong mengkritik bahwa dunia seni rupa kerap menjadi arena permainan ekonomi bagi pihak-pihak berkepentingan.
“Di setiap sektor pasti ada mafioso, termasuk di seni rupa. Siapa yang bermain di wilayah ini, dia kaya. Bukan rahasia lagi sebenarnya bahwa banyak pencucian uang yang dilakukan melalui dunia seni, entah itu dari lukisan maupun barang antik,” katanya.
Ia juga menyoroti media sering kali membungkam kritik dengan alasan kepentingan bisnis.
“Banyak wartawan lapangan menulis, tapi kalau redaksi sudah disogok iklan, tulisan mereka yang pedas-pedas juga tidak akan naik, atau kalau direktur medianya sudah punya kepentingan, kritik sekeras apa pun tetap akan tenggelam,” paparnya.
Kondisi ini semakin mempersempit ruang bagi seniman dan intelektual yang ingin menyuarakan kegelisahan mereka. Namun, justru dalam keterbatasan inilah seni menemukan jalannya sendiri, melebur dalam kanvas, menyelinap dalam warna, dan tetap berbicara meski dalam diam.