Penetapan status Taman Nasional (TN) Mutis-Timau baru-baru ini menuai kontroversi. Masyarakat adat setempat masih mempersoalkan perubahan status itu dan menganggapnya ancaman terhadap hak serta keberadaan mereka.
Masyarakat adat Mollo Utara menegaskan hal itu dengan menggelar ritual adat.
Dalam ritual ini, mereka mengikrarkan Gunung Mutis di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Nusa Tenggara Timur (NTT), sebagai hutan adat atau hutan larangan.
TN Mutis-Timau Hutan Adat yang Sakral
Ritual yang digelar pada Selasa, 28 Januari 2025, dimulai di Nausus dan Netpala, tempat berkumpulnya para usif atau tetua adat. Sebagai bagian dari prosesi, seekor kambing putih dipersembahkan kepada leluhur dan Gunung Mutis.
Ritual berlanjut ke enam titik lainnya di kaki gunung. Ritual menandakan secara adat, Gunung Mutis kini berstatus sebagai hutan larangan yang tidak boleh dimasuki sembarang orang.
Selain itu, masyarakat adat juga mengeluarkan pernyataan sikap di Fatumnasi, menolak status TN Mutis-Timau dan mengembalikan gunung itu sebagai hutan adat yang sakral bagi mereka.
Menurut Alfred Baun, keputusan ini bukan bentuk perlawanan terhadap negara, tetapi usaha untuk mempertahankan harkat dan martabat masyarakat Mollo serta Timor.
Penolakan serupa terjadi di Desa Noepesu dan Fatuneno, Miomaffo Barat, Timor Tengah Utara.
Keberatan Masyarakat Adat terhadap Status Taman Nasional
Keputusan perubahan ini diumumkan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya, 8 September 2024 dalam pertemuan daring bersama Bezos Earth Fund (BEF), sebuah lembaga filantropi berbasis di Amerika Serikat.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), yang kini berganti menjadi Kementerian Kehutanan berdasarkan Perpres No. 139/2024.
Pemerintah menjelaskan, perubahan status ini bertujuan untuk konservasi flora dan fauna endemik. Keputusan ini dianggap mendadak dan tidak melalui dialog dengan para tokoh adat setempat.
Masyarakat adat Mollo Utara di Kabupaten Timor Tengah Selatan menyatakan bahwa dalam pengambilan keputusan ini, para usif dan amaf tidak dilibatkan, sehingga mereka merasa keberadaan hukum adat mereka diabaikan.
Perubahan ini menegaskan bahwa sistem zonasi diterapkan untuk mengakomodasi kepentingan masyarakat setempat sekaligus menjaga ekosistem. Namun, masyarakat adat khawatir sistem zonasi ini akan membatasi akses mereka.
Dalam hal ini termasuk aktivitas pariwisata, ritual adat, dan penghidupan seperti penggembalaan ternak serta pengelolaan sumber air.
Meski KLHK menyatakan bahwa tidak ada rencana pembangunan wisata besar-besaran di kawasan tersebut, kekhawatiran tetap muncul di kalangan masyarakat adat.
Kritik terhadap Sistem Zonasi
Menurut Yeheskiel Mnune, tokoh adat Mollo dari Desa Ajaobaki, masyarakat adat telah memiliki sistem zonasi tersendiri sejak lama.
“Sistem zonasi seperti itu kami di hukum adat sudah mengaturnya. Bagian wisata, bagian ternak sampai pada bagian ritual itu semua sudah diatur sejak dulu. Masing-masing bagian itu ada dia punya nama dan ritualnya tersendiri. Jika pemerintah mau mengatur zonasi, apakah mereka tahu dengan cerita seperti ini ? Cerita-cerita di balik penetapan wilayah dan ritual di dalamnya?” jelas Yeheskiel Mnanu, Tokoh Adat Mollo.
Selain itu, Mama Lodia Oematan, perempuan adat dari Desa Fatumnasi, menegaskan bahwa Mutis adalah sumber kehidupan masyarakat Mollo dan Timor secara umum.
Hutan di kawasan tersebut menyediakan pangan, obat-obatan, serta sumber daya lainnya, sehingga wajib dilindungi masyarakat adat.
Dengan berbagai aksi protes yang dilakukan, masyarakat adat tetap bersikukuh bahwa penetapan taman nasional ini berisiko menghilangkan hak mereka atas tanah adat dan tradisi yang telah diwariskan turun-temurun.
Pemerintah diharapkan dapat mendengarkan aspirasi masyarakat adat dan mencari solusi yang lebih inklusif dalam pengelolaan kawasan konservasi.
TN Mutis-Timau Ditutup Sementara
Dikutip dari Liputan6.com, Kunjungan wisata di Taman Nasional Mutis Timau, Nusa Tenggara Timur (NTT) ditutup sementara sejak 28 Januari hingga 14 Februari 2025 mendatang.
Penutupan ini juga terkait terjadinya lonjakan jumlah pasien hipothermia (suhu tubuh turun drastis hingga di bawah 35 derajat celcius) yang merupakan pengunjung Taman Nasional Mutis Timau.
Penutupan sementara dilakukan karena kondisi cuaca di musim penghujan yang akhir-akhir ini cenderung ekstrem. Penutupan sementara itu dilakukan sampai kondisi cuaca normal kembali.
“(Penutupan sementara) untuk keamanan dan kenyamanan pengunjung wisata alam, kunjungan wisata, pendakian dan camping ke Taman Nasional Mutis Timau,” ujar Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) NTT, Arief Mahmud, dalam rilisnya, Selasa (28/1/2025). (Dari berbagai sumber)