Pulau Simardan, Kisah Duka Seorang Anak yang Mengkhianati Ibunya
Berbagai kisah mengenai legenda anak durhaka mengisi khazanah cerita rakyat. Di antaranya adalah kisah Malin Kundang dari Sumatera Barat, yang dijatuhi kutukan hingga berubah menjadi batu, dan Sampuraga dari Mandailing Natal di Sumatera Utara, yang konon berubah menjadi sumur berisi air panas. Di Tanjungbalai, seorang pemuda dikutuk menjadi daratan dikelilingi perairan akibat durhaka kepada ibunya; daratan tersebut dikenal sebagai Pulau Simardan. Menurut cerita masyarakat setempat, Simardan adalah anak dari seorang janda miskin. Suatu ketika, ia merantau ke negeri seberang untuk mencari nafkah.
Setelah beberapa tahun tidak terdengar kabarnya, ibunya yang sudah tua mendengar berita tentang sebuah kapal layar yang baru saja tiba dari Malaysia. Masyarakat menyebut pemilik kapal tersebut adalah Simardan, anaknya yang telah lama hilang. Merasa bahagia, si ibu pun bergegas menuju pelabuhan. Namun, saat tiba di sana, ia mendapati Simardan berjalan bersama seorang wanita cantik dan kaya. Dengan penuh kasih sayang, sang ibu memeluknya dan mengklaim bahwa Simardan adalah anaknya. Namun, betapa terkejutnya ia ketika pelukan kasih itu ditolak dengan kasar oleh Simardan, yang malah mendorongnya hingga terjatuh.
Meskipun sang istri meminta Simardan untuk mengakui wanita tua tersebut sebagai ibunya, pendiriannya tidak berubah. Ia bahkan mengusir ibunya dan menyebutnya sebagai pengemis.
Asal Usul Simardan
Sebelum kejadian itu, Pulau Simardan masih berupa perairan tempat kapal berlabuh. Menurut H. Daem, seorang tokoh masyarakat berusia 80 tahun, lokasi tersebut berada di Jalan Sentosa, Kelurahan Pulau Simardan, Lingkungan IV Kota Tanjungbalai. Tanjungbalai terletak pada koordinat 20,58 LU dan 0,3 meter di atas permukaan laut, dengan luas sekitar 6.052,90 hektar dan populasi sekitar 144.979 jiwa menurut sensus 2003. Meski peristiwa ini terjadi di Tanjungbalai, Daem menjelaskan bahwa Simardan sebenarnya berasal dari hulu Tanjungbalai, yakni daerah Tapanuli. Hal ini juga dikuatkan oleh Abdul Hamid Marpaung, 75, warga Jalan Binjai Semula Jadi, yang menyatakan bahwa asal Simardan adalah Porsea di Tapanuli.
Harta Karun yang Terpendam
Berbeda dengan kebanyakan legenda anak durhaka yang umumnya merantau untuk mencari pekerjaan demi memperbaiki nasib keluarga, Simardan merantau ke Malaysia untuk menjual harta karun yang ditemukan di sekitar rumahnya, menurut Marpaung. Ia bermimpi tentang lokasi harta karun, dan keesokan harinya pergi ke tempat tersebut dan menemukan berbagai perhiasan.
Rencananya adalah menjual harta karun tersebut di Tanjungbalai, karena menurut Marpaung, di sana terdapat kerajaan yang besar dan kaya. Namun, setibanya di Tanjungbalai, tidak ada kerajaan yang mampu membayar harta karun tersebut, sehingga ia terpaksa pergi ke Malaysia. Di Pulau Penang, Malaysia, harta karun tersebut berhasil terjual, bahkan Simardan juga menikahi putri kerajaan itu.
Berselisih dengan Marpaung, H. Daem mengatakan bahwa tujuan Simardan merantau ke Malaysia adalah mencari pekerjaan. Setelah beberapa tahun, ia berhasil menjadi orang kaya dan menikahi seorang bangsawan.
Kembali ke Tanah Air
Setelah puluhan tahun merantau, Simardan akhirnya kembali ke Tanjungbalai bersama istrinya. Kedatangannya, menurut Daem, adalah untuk berdagang sekaligus mencari bahan kebutuhan. Namun, menurut Marpaung, kedatangan Simardan didorong oleh keinginannya untuk memiliki keturunan. Atas saran orang tua di Malaysia, pasangan suami istri itu memutuskan untuk kembali ke Tanjungbalai. Berita tentang kedatangan Simardan sampai kepada ibunya, yang merasa gembira dan menyiapkan berbagai hidangan khas dari keyakinannya yang belum mengenal agama. Namun, makanan yang dibawa adalah yang diharamkan dalam Islam. Dengan semangat, sang ibu berangkat menuju Tanjungbalai bersama kerabatnya, tetapi perlakuan Simardan sangat berbeda dari yang diharapkannya.
Simardan menolak untuk mengakui wanita tua itu sebagai ibunya. Tindakan ini dilakukannya karena ia merasa malu kepada istrinya jika diketahui bahwa ibunya tidak mengenal agama. Sementara itu, Daem menambahkan bahwa perlakuan kasar Simardan juga disebabkan rasa malunya terhadap penampilan ibunya yang miskin, yang mengenakan pakaian compang-camping.
Doa dan Kutukan
Setelah menerima perlakuan yang kasar, wanita tua itu berdoa sambil memegang payudaranya, berharap Tuhan menunjukkan kebesaran-Nya jika Simardan memang anaknya. Setelah berdoa, tiba-tiba angin kencang dan ombak besar mengarah ke kapal layar, menghancurkan kapal tersebut. Menurut cerita, tubuh Simardan tenggelam dan berubah menjadi pulau bernama Simardan.
Para pelayan dan istrinya pun berubah menjadi kera putih, karena mereka tidak terlibat dalam sikap durhaka Simardan terhadap ibunya. Mereka diberikan tempat tinggal di hutan Pulau Simardan. Marpaung menjelaskan bahwa sekitar empat puluh tahun lalu, masih ditemukan kera putih yang diyakini merupakan jelmaan para pelayan dan istri Simardan. Namun, karena populasi manusia di Tanjungbalai, khususnya di Pulau Simardan, kera putih itu tidak pernah terlihat lagi.
Selain itu, pada tahun lima puluhan, masyarakat menemukan tali kapal besar di Jalan Utama Pulau Simardan saat menggali sumur. Penemuan ini mengindikasikan bahwa Pulau Simardan dulunya merupakan perairan. Marpaung menekankan bahwa kebenaran legenda Simardan tergantung pada persepsi masing-masing orang, tetapi penemuan tali dan rantai kapal memberikan bukti bahwa di masa lalu, Pulau Simardan merupakan tempat berlabuh kapal. (Achmad Aristyan – Sumber: budaya-indonesia.org)