Pertumbuhan industri kreatif yang berfokus pada produk ramah lingkungan semakin menginspirasi masyarakat untuk beralih ke gaya hidup yang lebih ekologis. Dari sekian banyak merek lokal yang ada, Sakombu Eco Basket menjadi salah satu yang terus berinovasi menciptakan produk eco-friendly di Indonesia.
Dewi Febriana Syamri, pendiri Sakombu Eco Basket, memiliki prinsip untuk memberikan kehidupan baru bagi tanaman liar yang sering dianggap merugikan. Prinsip inilah yang mendorong Dewi, yang juga dikenal sebagai penggiat ekonomi kreatif, memanfaatkan serat alami dari tumbuhan liar menjadi produk kerajinan dengan nilai lebih tinggi.
Ketertarikan Dewi terhadap kerajinan anyaman dimulai saat ia menempuh pendidikan di Institut Kesenian Jakarta (IKJ). “Secara pribadi, saya menyukai kerajinan anyaman, dan saya ingin mengangkat kerajinan tradisional dari kampung halaman saya di Ranah Minang, Sumatra Barat, yang kebetulan adalah kriya anyaman,” kata Dewi.
Yang membuat Sakombu Eco Basket unik adalah penggunaan serat alami dari tumbuhan Mansiang, sejenis gulma yang tumbuh liar di rawa-rawa. Tumbuhan ini kemudian diolah oleh masyarakat setempat menjadi anyaman, yang dikembangkan menjadi produk dengan desain modern dan beragam.
Rawon dan Laksa, Kuliner Indonesia Yang Mendunia
Proses pembuatan produk Sakombu diawali dengan serangkaian tahap alami, termasuk memanen serat Mansiang yang membutuhkan waktu sembilan bulan. Setelah panen, serat ini dijemur di bawah sinar matahari selama beberapa hari sebelum diratakan dengan alat khusus agar mudah dianyam menjadi tas dan keranjang.
“Semakin rumit desainnya, semakin lama waktu yang dibutuhkan. Untuk membuat satu tas tote besar, waktu yang dibutuhkan untuk menganyam sekitar tiga hari, belum termasuk proses pengeringan dan perataan serat,” jelas Dewi.
Sejak berdirinya pada 2018, Sakombu Eco Basket telah memproduksi lebih dari 60 jenis produk. Meski tidak sebanyak merek lain, Dewi menekankan bahwa setiap produk dibuat dengan tangan oleh pengrajin lokal terpilih, sehingga tidak diproduksi secara massal.
Sakombu Eco Basket juga menawarkan produk yang ramah lingkungan, dengan 90% anyaman tidak diwarnai secara sintetis, melainkan memanfaatkan warna alami serat Mansiang. Hanya sekitar 10% yang menggunakan pewarna sintetis dalam proses produksi.
Produk Sakombu tersedia secara online melalui media sosial, serta di beberapa toko fisik di Jakarta dan Bali. Selain itu, Sakombu Eco Basket juga menerima pesanan khusus untuk pasar luar negeri, termasuk Paris.
Sakombu Eco Basket tidak hanya fokus pada lingkungan, tetapi juga berkomitmen memberdayakan perempuan, khususnya ibu rumah tangga dengan kondisi ekonomi menengah ke bawah. Para pengrajin perempuan, yang sebagian besar berusia antara 50 hingga hampir 80 tahun, diajak untuk terus mengembangkan keahlian menganyam mereka.
Totopong, Ikat Kepala Khas Orang Sunda
Dewi secara langsung terlibat dalam proses pemberdayaan ini, bahkan tinggal bersama para pengrajin di pedalaman untuk memperkuat hubungan dan mendiskusikan ide-ide baru. Meskipun awalnya sulit untuk memperkenalkan desain baru kepada pengrajin yang terbiasa dengan pola lama, dengan semangat dan referensi baru, para pengrajin akhirnya tertarik untuk mencoba.
“Proses uji coba dan kesalahan kami jalani bersama. Kini, sudah ada puluhan desain baru yang kami kembangkan di bawah nama Sakombu Eco Basket,” kata Dewi dengan bangga.
Keberhasilan Sakombu Eco Basket juga diakui secara luas, termasuk memenangkan kompetisi Deureuham (Islamic Creative Economy Competition) pada 2019, penghargaan Good Design Indonesia (GDI) 2023 dari Kementerian Perdagangan RI, serta meraih G-Mark GDA 2023 di Jepang.
Sakombu juga pernah berkolaborasi dengan jenama lokal lainnya, seperti Sejauh Mata Memandang (SMM), dengan turut serta dalam Jakarta Fashion Week 2020 dan tampil dalam majalah Harper’s Bazaar Indonesia. (Achmad Aristyan – kemenparekraf.go.id)