Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, provinsi ke-31 di Indonesia, didirikan melalui Undang-Undang No. 27 Tahun 2000. Sebelumnya, wilayah ini merupakan bagian dari Provinsi Sumatera Selatan. Keindahan alamnya, terutama di Pulau Bangka dan Pulau Belitung, telah menarik perhatian banyak wisatawan. Namun sejarah panjang kedua pulau ini jauh lebih kaya dan penuh peristiwa penting.
Laman resmi dpmptsp.babelprov.go.id menyebut, sejarah awal Pulau Bangka sudah tercatat dalam berbagai sumber. Menurut sejarawan George Coedes, sebelum abad pertama, pulau ini telah dikenal para pelaut India yang datang ke Wangka, yang kini dikenal sebagai Pulau Bangka.
Nama Wangka berarti timah dalam bahasa Sansekerta, mengingat Pulau Bangka kaya sumber daya alam mahal itu. Sedangkan karya sastra Buddha yang ditulis abad ke-3 Masehi, seperti “Mahaniddesa”, Wangka sudah disebutkan bersama wilayah Swarnnabhūmi (Sumatra) dan Jawa.
Jejak sejarah Bangka dapat terbaca dari prasasti Kota Kapur-peninggalan Kerajaan Sriwijaya-diperkirakan dibuat abad ke-7 Masehi. Prasasti yang ditemukan di Desa Penagan, Kecamatan Mendo Barat, Kabupaten Bangka ini menunjukkan adanya pemukiman dan perkembangan peradaban.
Selain itu, Pulau Bangka juga dikenal para pelaut Melayu dan Tiongkok, dengan Gunung Menumbing sebagai petunjuk navigasi penting. Gunung ini bahkan tercatat dalam peta “Mao K’un” yang dibuat Ma-huan abad ke-15. Di sana gunung ini disebut Peng-chia Shan, yang berarti “Gunung Menumbing.”
Baca juga: Rumah Baghi: Simbol Persatuan dan Tradisi Sumsel
Perlawanan Heroik
Sementara itu, sejarah Pulau Belitung juga tak kalah menarik. Berdasarkan catatan dari Tiongkok, pada abad ke-13, Pulau Belitung dikenal sebagai Kaulan, tempat singgah armada Mongol yang sedang dalam perjalanan untuk menyerang Siŋhasāri pada tahun 1293.
Di sini, armada Mongol memperbaiki kapal-kapal mereka yang rusak. Pada masa kerajaan, Pulau Belitung sempat menjadi bagian dari Kerajaan Sriwijaya pada abad ke-7 dan kemudian menjadi benteng pertahanan laut Kerajaan Majapahit pada abad ke-14.
Setelah periode kerajaan, Pulau Belitung menjadi bagian dari Kesultanan Palembang dan beberapa kerajaan lokal, seperti Kerajaan Badau dan Kerajaan Balok yang muncul abad ke-15. Pada masa kolonialisme, Pulau Bangka dan Pulau Belitung berada di bawah kekuasaan Inggris hingga akhirnya Inggris menyerahkan kedua pulau ini ke Belanda, 10 Desember 1816.
Di bawah Belanda, perjuangan rakyat Bangka melawan penjajahan berlangsung sengit. Salah satu perlawanan heroik terjadi saat Perang Bangka I tahun 1819 hingga 1828, dipimpin Depati Barin.
Setelah wafatnya Depati Barin, perjuangan dilanjutkan anaknya, Depati Amir, yang juga dikenal karena keberaniannya melawan Belanda. Perjuangannya yang terus menggema di Pulau Bangka mengganggu industri penambangan timah Belanda.
Sebagai balasan, Depati Amir ditangkap dan diasingkan ke Kupang. Demi mengenang jasanya, Bandara Depati Amir diresmikan sebagai simbol perjuangan masyarakat Bangka Belitung.
Baca juga: Rumah Baghi: Simbol Persatuan dan Tradisi Sumsel
Menjadi Provinsi
Setelah Indonesia merdeka, meski pemerintah Belanda menolak mengakui kemerdekaan, sebuah Dewan Bangka Sementara dibentuk pada 1946. Penggabungan Dewan Riau dan Dewan Belitung dalam Federasi Bangka Belitung Riau (Babiri) terjadi pada 1948.
Namun, pada tahun 1950, negara federal dibubarkan, dan Bangka Belitung kembali menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Selama beberapa dekade berikutnya, wilayah ini masih berada di bawah administrasi Provinsi Sumatera Selatan, meskipun masyarakat Bangka Belitung terus memperjuangkan status otonom.
Keinginan masyarakat untuk menjadikan Bangka Belitung sebagai provinsi yang berdiri sendiri akhirnya terwujud pada 21 November 2000. Ketika itu, Pemerintah Republik Indonesia mengesahkan pembentukan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung melalui Undang-Undang No. 27 Tahun 2000. Hari itulah yang kini diperingati sebagai hari jadi Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, menandai babak baru dalam perjalanan sejarah wilayah ini. (Diolah dari berbagai sumber)