Menteri Kebudayaan Republik Indonesia, Fadli Zon, meresmikan Museum Sastra Indonesia dan Rumah Puisi Taufiq Ismail di Aie Angek, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat, 30 Oktober 2024
Museum Sastra Indonesia terdiri dari berbagai koleksi benda bersejarah yang mengabadikan sejarah perjalanan sastra Indonesia. Diantaranya yakni, mesin tik, mesin cetak kuno, kacamata, dan barang-barang pribadi milik para sastrawan ternama serta puluhan lukisan wajah sastrawan lintas generasi.
Fadli Zon, menyampaikan apresiasi mendalam atas dedikasi Taufiq Ismail yang banyak berkontribusi bagi dunia sastra dan kebudayaan Indonesia. “Bila HB Jassin dijuluki Paus Sastra Indonesia, maka Taufiq Ismail sangat pantas kita anggap sebagai Bapak Sastra Indonesia,” ungkapnya.
*
Taufiq Ismail sangat tepat disebut Bapak Sastra Indonesia. Sebagai sastrawan yang aktif terlibat dalam dinamika sosial dan budaya Indonesia, kiprahnya jauh melampaui perannya sebagai penyair.
Taufiq Ismail lahir di Bukittinggi, Sumatera Barat, 25 Juni 1935. Taufiq adalah anak sulung dari tiga bersaudara. Ayahnya adalah seorang ulama Muhammadiyah terkemuka, K.H. Abdul Gaffar Ismail, dan ibunya, Sitti Nur Muhammad Nur. Taufiq bergelar Datuk Panji Alam Khalifatullah.
Taufik dibesarkan di Pekalongan, Jawa Tengah. Selama hidupnya, ia telah berkontribusi besar dalam dunia sastra. Tidak hanya menulis sajak, ia juga mencurahkan perhatiannya dalam meningkatkan kualitas pendidikan literasi di Indonesia.
Sejak masih SMA, Taufiq sudah bercita-cita menjadi sastrawan. Kala itu, dia sudah mulai menulis sajak yang dimuat di majalah Mimbar Indonesia dan Kisah. Kariernya sebagai penyair berawal ketika ia menulis puisi-puisi demonstrasi.
Baca juga: Mengenang Rosihan Anwar, Sastrawan Pelintas Lima Zaman
Sastrawan Aktivis
Penulis pemilik nama samaran, Nur Fadjar ini juga aktif di berbagai lembaga, program, maupun mengikuti festival yang berkaitan dengan sastra. Saat masih pelajar dan mahasiswa, ia telah terlibat dalam organisasi pelajar dan kemahasiswaan.
Taufiq pernah menjadi anggota Pelajar Islam Indonesia (PII) dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Keterlibatannya di organisasi itu membuatnya dalam masalah. Kariernya untuk menjadi dosen dan peneliti di almamaternya terputus.
Pada tahun 1960—1961, Taufik menjadi Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan, Universitas Indonesia (Sekarang IPB University Bogor), kemudian Ketua II Dewan Mahasiswa. Penyair ini lulus kuliah tahun 1963.
Taufik pernah menempuh pendidikan non-gelar di School of Letters International Writing Program, University of Iowa dan di Mesir pada Faculty of Language and Literature America University in Cairo.
Tahun 1966, Taufiq dan kawan-kawannya mendirikan majalah sastra bulanan Horison. Melalui majalah itu, ia memasyarakatkan sastra ke sekolah melalui program “Siswa Bertanya, Sastrawan Berbicara”.
Taufiq dikenal sebagai penyair partisan dalam aksi demonstrasi mahasiswa. Kumpulan puisinya terkumpul dalam Tirani dan Benteng (1966). Di tahun 1970 ia menerbitkan Puisi-Puisi Sepi, disusul Buku Tamu Musium Perjuangan (1972).
Buku kumpulan puisi Kenalkan Saya Hewan (1973), merupakan puisinya bertemakan anak-anak. Beberapa karya lain Taufiq yaitu, Ladang Jagung (1974), Puisi-Puisi Langit (1990).
Taufiq juga menulis esai sastra yang kemudian diberi judul Prahara Budaya (1995). Disamping itu dia juga menjadi editor untuk beberapa buku kumpulan puisi. Dalam bidang penerjemahan, Taufiq bersama Ali Audah dan Goenawan Mohamad menerjemahkan karya Iqbal The Reconstruction of Religius Thought in Islam yang terbit tahun 1964.
Ketika masa jatuhnya pemerintahan Orde Baru, Taufiq menulis puisi dan mengumpulkannya dalam kumpulan puisi Malu Aku Jadi Orang Indonesia (1998). Puisi inilah yang menjadi salah satu karya Taufiq yang paling banyak dibicarakan.
Baca juga: Museum Sastra Indonesia di Sumatera Barat Diresmikan
Anugerah Sastra Asia Tenggara
Karya-karya sendiri sudah banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Arab, Belanda, Bosnia, Rusia, Korea, dan lainnya. Disamping menulis, Taufiq juga seorang kolumnis, dan berulang kali menulis lirik lagu untuk kelompok Bimbo.
Di masa kepemimpinan Trisno Sumardjo dan Umar Kayam, Taufiq Ismail yang menjadi pendiri Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pernah menjabat sebagai sekretaris dewan. Taufik juga pernah menjabat Direktur Taman Ismail Marzuki dan Rektor LPKJ.
Selama berkarya sebagai penyair dan sastrawan, berbagai penghargaan telah diraih Taufiq Ismail. Tahun 1970, ia menerima penghargaan Anugerah Seni dari Pemerintah RI. Penghargaan dari Pusat Bahasa (1994) kemudian membawanya menerima SEA Write Award dari Kerajaan Thailand.
Puncak penghargaan yang diterimanya adalah anugerah Dr. Honoris Causa dari Universitas Negeri Yogyakarta tahun 2003. H.B Jassin menyatakan bahwa Taufiq adalah tokoh utama Angkatan ’66 dan setara dengan Rendra.
Di tahun 2024, Taufiq Ismail meraih Anugerah Sastra Mastera merupakan Anugerah bergengsi tingkat tinggi yang diberikan negara Brunei Darussalam kepada tokoh sastra atau sastrawan yang berasal dari negara Anggota Mastera, yaitu Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura.
Taufiq Ismail dalam sambutan yang disampaikan Wakil Ketua Mastera Indonesia, Hafidz Muksin, menyampaikan, “Penghargaan ini merupakan sebuah kehormatan besar, dan ini sungguh mengharukan bagi saya. Saya merasa bersyukur telah hampir menghabiskan seluruh usia untuk puisi dan bahasa. Lewat puisi dan bahasa, saya bersama sahabat-sahabat seangkatan yang kini sudah paripurna menunaikan kewajiban-kewajiban seorang insan, senantiasa berjuang untuk kebebasan dan keadilan. Puisi adalah hati nurani. Puisi adalah cinta semesta yang menyala di dada. (Diolah dari berbagai sumber)