Tembawang Tampun Juah, terletak di Dusun Segumon, Desa Lubuk Sabu, adalah hutan yang menyimpan kisah dari perkampungan kuno masyarakat Dayak di Kalimantan Barat. Seiring berjalannya waktu, pemukiman ini ditinggalkan, mengubahnya menjadi hutan belantara yang mempesona.
Di dalam Hutan Tembawang, bekas perkampungan ini menawarkan beragam tanaman hutan yang kaya manfaat, termasuk kayu belian, berbagai tanaman obat, serta durian. Keberadaan flora ini menjadi sumber kehidupan bagi masyarakat setempat, yang memanfaatkan kekayaan alamnya. Para keturunan yang ingin melestarikan hutan ini mengikuti hukum adat yang telah disepakati, dengan konsekuensi sanksi bagi mereka yang melanggar aturan tersebut.
Kawasan hutan Tembawang Tampun Juah, dengan luas 651 hektar, resmi diakui oleh pemerintah sebagai hutan adat pada tahun 2018. Pengakuan ini merupakan hasil perjuangan masyarakat Hukum Adat Ketemenggungan Sisang Kampung Segumon selama tujuh tahun. Hutan ini memiliki makna mendalam dalam konteks spiritual, sejarah, dan budaya bagi masyarakat adat, menjadikannya sebagai tanah leluhur bagi banyak sub-suku Dayak Iban dan Bidayuh yang berhubungan keluarga di Kalimantan, Malaysia, dan Brunei Darussalam.
Setiap tahun, Tembawang Tampun Juah menjadi tempat berlangsungnya kegiatan adat yang dihadiri oleh ribuan warga Dayak dari berbagai daerah di Kalimantan, serta dari Malaysia dan Brunei. Tempat ini juga dikenal sebagai situs warisan budaya yang penting, di mana terdapat dua ketemenggungan: Ketemenggungan Sisang dan Bi Somu dari komunitas adat Bidayuh, serta Ketemenggungan Iban Sebaruk dari komunitas adat Iban. Terletak di perbatasan Indonesia-Malaysia, hutan ini menjadi titik temu budaya.
Baca Juga: Dayak Wehea Penjaga Hutan Tropis Kalimantan
Kampung Tembawang Tampun Juah di Desa Lubuk Sabuk, Kecamatan Sekayam, Kabupaten Sanggau, diyakini sebagai lokasi awal pemukiman Suku Dayak sebelum mereka menyebar ke wilayah lain di Kalimantan Barat dan bahkan ke Malaysia. Menurut cerita lisan dari berbagai sub-suku Dayak, tempat ini dikenal sebagai lokasi di mana mereka menerima petuah dari Petara atau Sang Pencipta, yang menurunkan hukum adat yang harus dipatuhi.
Sisa-sisa sejarah terlihat dari artefak yang ditemukan di area ini, seperti arca laki-laki dan perempuan serta tempayan dari batu andesit, meski dalam kondisi yang sudah lapuk. Arca perempuan menggambarkan sosok yang menggendong anak di pangkuannya, menandakan kedalaman nilai-nilai budaya yang dipegang oleh masyarakat.
Nama “Tampun Juah” berasal dari kisah cinta terlarang antara Juah, seorang pemuda, dan sepupunya, Lemay. Meskipun hubungan mereka melanggar adat, keduanya tetap bersatu. Namun, akibat keputusan para tetua adat, keduanya menerima hukuman mati, dikenal sebagai Tampun. Lokasi kejadian ini tidak pernah diketahui dengan pasti, namun dipercaya berada di sepanjang aliran Sungai Sekayam, menggambarkan jejak perjuangan dan cinta yang abadi di antara leluhur suku Dayak. (Sumber: pancurajipost.com)