Tirto Adhi Soerjo adalah pelopor pertama di bidang pers. Ia merupakan pendiri Medan Priaji, surat kabar nasional pertama yang menggunakan bahasa Melayu yang seluruh pekerjanya adalah pribumi. Namun kiprahnya sebagai pelopor pers tidak begitu dikenal.
Lahir tahun 1880 di Blora sebagai ningrat sejati, Tirto Adhi Soerjo merupakan garis ke-4 dari Keraton Solo, derajat ke-4 dari Panembahan Madura terakhir, dan derajat ke-4 dari Bupati Blora R.M.A.A. Tjokronegoro. Ayahnya bernama R. Ng. Haji Chan Tirtodipuro, seorang pegawai kantor pajak.
Sebelum terjun ke dunia kepenulisan, Tirto Adhi Soerjo untuk meneruskan pendidikan di sekolah kedokteran di STOVIA (sekolah dokter jawa di Batavia). Pada saat itu, kebanyakan kalangan ningrat memilih bekerja pegawai negeri. Karena dokter dipandang sebagai pekerjaan pengabdian dibanding sebagai pegawai negeri, sehingga pilihannya saat itu sebagai sesuatu hal yang luar biasa.
Di sela-sela pendidikannya, Tirto Adhi Soerjo rajin menulis. Tulisannya dimuat di berbagai surat kabar terbitan Betawi dalam bahasa Belanda atau Jawa. Karena fokus pada dunia tulis menulis, kuliahnya menjadi terbengkalai bahkan putus di tengah jalan.
Pada tahun 1888, ia mulai berkecimpung dalam dunia jurnalistik ketika membantu surat kabar Chabar Hindia Olanda hingga tahun 1897. Terhitung mulai tahun 1884, ia juga membantu di Pembrita Betawi, di sana ia bekerja selama 32 tahun.
Awal Mula Mendirikan Surat Kabar
Ketidakpuasannya menjadi penulis di surat kabar milik orang Belanda, membuat ia menjual harta bendanya di Batavia lalu dengan tambahan modal dari Bupati Cianjur, ia mendirikan surat kabar mingguan Soenda Berita pada Februari 1903 yang terbit setiap hari Minggu.
Inilah pers pribumi pertama yang terbit di Cianjur. Karena itulah kemudian Tirto Adhi Soerjo dipandang sebagai pelopor pers pribumi.
Pada tahun 1907 di Bandung, dengan modal yang berasal dari kalangan pribumi, khususnya para pedagang bumiputera dari Sumatera Barat dan juga pedagang keturunan Arab, Tirto Adhi Soerjo kemudian mendirikan surat kabar Medan Prijaji.
Surat kabar ini merupakan koran nasional pertama yang menggunakan bahasa Melayu dengan semua pekerjanya adalah orang pribumi. Medan Prijaji menyajikan berita-berita yang secara keras mengkritik kebijakan serta perlakuan kolonial kepada masyarakat pribumi.
Bahkan kadang memberitakan orang-orang pribumi yang menjadi antek kolonial. Tulisannya membuat ia memiliki banyak musuh di kalangan kolonial Belanda dan antek-antek pribumi. Tak jarang perlawanannya membuat dia harus mendekam di penjara. Tak hanya itu, ia pernah dibuang sebanyak dua kali yaitu dibuang ke Teluk Betung dan Ambon atas perintah gubernur jenderal Hindia Belanda.
Pada tahun 1973, ia dinyatakan sebagai Perintis Pers Indonesia oleh Dewan Pers RI. Usaha koran Medan Prijaji mengalami kemajuan pesat hingga akhirnya memiliki percetakan sendiri, membangun hotel, dan usaha perdagangan. Namun perjalanan selanjutnya dipenuhi tekanan politik membuat usaha penerbitan yang didirikannya mengalami kesulitan.
Pada tahun 1909, Tirto Adhi Soerjo memprakarsai berdirinya Sarekat Dagang Islamiyah di Batavia dan Sarekat Dagang Islam di Bogor. Selain itu, ia juga mendirikan Sarekat Islam di Surakarta yang sekaligus merupakan badan koordinasi pusat atau yang pada waktu itu disebut Komisi Pusat (Centrale Commissie). Komisi tersebut menerbitkan koran organisasi yang diberi nama Sarotomo.
Tirto Adhi Soerjo menghembuskan nafas terakhirnya di Jakarta pada 7 Desember 1918 dan dimakamkan di sebuah pekuburan di Mangga Dua, Jakarta, kemudian dipindahkan ke Bogor pada tahun 1973.
Ironisnya, tak satu pun surat kabar di negara ini yang memuat berita kematiannya. Pada tahun 1973, ia dinyatakan sebagai Perintis Pers Indonesia oleh Dewan Pers RI. Atas jasa-jasanya pada negara, RM Tirto Adhi Soerjo diberi gelar Pahlawan Nasional dan Tanda Kehormatan Bintang Maha Putra Adipradana. (Anisa Kurniawati- Sumber: tokoh.id)