Tradisi Reba bukan perayaan hura-hura berisi tari-tarian dan nyanyian semata, namun juga tradisi perhelatan spiritual yang sakral peninggalan leluhur.
Leluhur masyarakat Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT) percaya, alam semesta diatur dan dikuasai seorang penguasa yang mahatinggi. Masing-masing Suku di Tanah Nusa Bunga itu menyebut Sang Mahatinggi itu dengan nama berbeda.
Suku Manggarai di wilayah Barat NTT menyebutnya dengan sebutan Mori Kraeng. Orang Ngada-Bajawa memanggilnya Dewa Nitu Zale, masyarakat Ende-Lio menamai sang penguasa jagad Raya sebagai Du’a Ngga’e, Suku Maumere menjulukinya Ama P. Sedangkan masyarakat Flores Timur memanggil yang mahatinggi dengan pangilan Ama Rera Wulan.
Seluruh suku di Flores juga percaya, zat tertinggi ini mengatur dan menentukan siklus hidup manusia. Mulai dari kelahiran hingga kematian, aktivitas hidup di antara titik alfa dan omega serta awal dan akhirnya kehidupan manusia.
Akibat kepercayaan ini, seluruh suku di Flores, NTT sangat terikat dengan kuasa sang wujud tertinggi, walau mereka menyebutnya dengan nama dan sebutan berbeda.
Salah satu bentuk ekspresi hubungan vertikal antara masyarakat Flores dengan sang penguasa langit dan bumi itu, tercermin dalam pesta adat Reba yang digelar suku Ngadha-Bajawa di Flores, Nusa Tenggara Timur.
Upacara Reba digelar setiap Januari hingga Februari (saat masuk musim hujan dan angin kencang) atas keputusan Kepo Wesu atau pemangku adat. Ada tujuh kampung besar di Bajawa yang merupakan satu kesatuan adat yang disebut Nua Limazua. Namun kampung adat lain – seperti Suku Nage – juga bisa menggelar upacara serupa diikuti warga dan tamu dengan mengenakan pakaian adat.
Salah satu rangkaian acara upacara Reba masyarakat Nage yaitu ritual O Luka ( atau perang melawan angin). Namun secara filosofis O Luka adalah simbol kegigihan anggota suku Nage dalam menaklukan alam demi menjamin kehidupan diri sendiri, keluarga dan seluruh masyarakat.
Tarian dan nyanyian dari upacara Reba dianggap juga sebagai perayaan syukur manusia atas panen dan hasil selama setahun. Di sisi lain, Tradisi Rebha juga menjadi momen rekonsiliasi antara sesama anak suku yang berkonflik.
Jadi, tradisi Reba bukan perayaan hura-hura berisi tari-tarian dan nyanyian semata, namun juga tradisi perhelatan spiritual yang sakral peninggalan leluhur tentang ketuhanan, kemanusiaan dan alam semesta. Saat ini, tradisi Reba telah menjadi atraksi wisata tersendiri yang unik dan menarik.
Liputan terkait tradisi Reba di NTT ini dapat Anda saksikan di Youtube: Emmanus TV