Tradisi Bobotan menjadi momen sakral tradisional yang biasa digelar masyarakat Kabupaten Indramayu, Jawa Barat pada tahun 1960-1980.
Saat ini, tradisi Bobotan nyaris hilang karena hanya masyarakat di Kecamatan Cikendung, Kabupaten Indramayu saja yang masih melaksanakan upacara ini.
Istilah bobotan dalam bahasa Jawa artinya berat, selain itu bobotan berasal dari kayu milik Buyut Babar, namanya kayu bobotan. Kayu ini menjadi alat yang digunakan dalam upacara bobotan. Kayu bobotan masih disimpan masyarakat setempat dan keluarganya yang berada di tempat jauh.
Lantas siapa Buyut Babar? Dulu, seseorang prajurit Bagelan yang kalah perang bernama Sutra Jiwa dari Mataram, menetap di Desa Pangkalan, Kecamatan Losarang, Kabupaten Indramayu.
Suatu ketika, Sutra Jiwa bertemu dengan utusan dari Cirebon saat sedang memeriksa daerah perbatasan. Utusan itu memiliki ilmu kedigdayaan bernama Ilmu Macan Siliwangi. Utusan Cirebon menyangka bahwa Sutra Jiwa berpihak pada kompeni (Belanda). Dituduh demikian, Sutra Jiwa pun tidak menerimanya. Mereka kemudian berkelahi. Perkelahian berjalan seimbang dan berakhir dengan babar (wafat). Dari peristiwa itulah, masyarakat menyebut keduanya dengan istilah Buyut Babar.
Upacara bobotan berkaitan dengan keturunan. Apabila memiliki anak pertama laki-laki dan anak bungsu laki-laki maka untuk menyelamatkan jiwa kedua anaknya harus mengadakan upacara bobotan, yaitu keduanya ditimbang, dibobot dengan kayu bobotan. Supaya seimbang, timbangan sebelahnya diberi tambahan berat yang sama.
Selain itu, upacara ini dilaksanakan apabila memiliki anak tunggal laki-laki/perempuan, yaitu hanya memiliki satu anak laki-laki atau satu anak perempuan. Upacara bobotan juga dilakukan apabila satu keluarga memiliki tiga orang anak tapi anak yang kedua sudah meninggal atau anak yang diselang dengan yang sudah meninggal.
Tujuan upacara ini adalah untuk memohon keberkahan dari Tuhan Yang Maha Esa, agar mendapat keselamatan didunia dan akhirat, juga sebagai cara untuk memupuk kerukunan persaudaraan kekeluargaan. Selain itu, agar anak mendapatkan keselamatan, perlindungan, dan kemuliaan.
Jalannya upacara bobotan dimulai dengan menimbang anak. Bobot isi timbangan harus seimbang dengan berat badan anak. Bila isi timbangan lebih banyak, maka anak tersebut akan mendapatkan kemuliaan di kemudian hari.
Barang-barang yang ditimbang adalah barang-barang yang dianggap berharga, seperti pakaian, emas, perak, uang, beras, dan lain-lain. Selanjutnya, barang-barang tersebut menjadi harta kekayaan anak sebagai bekal untuk hidupnya.
Penimbangan dilakukan oleh juru timbang. Saat menimbang, juru timbang melantunkan kidung dengan syair sebagai berikut: Anak kidung kang rumeksa, ing wengi teguh rahayu, tur luput ing lara, luputa saking bilahi kabeh, jin setan datan purun, panelhan tanana wani, saking penggawe ala, gunani wong luput, geni temahan tirta, maling adoh tan wani, ngarah ing mami, tujuh guna pan sirna, saakehe hama pan sani niruda, elas asih ing pan dulu……syair ini belum selesai karena biasa dilantunkan dalam waktu 15-30 menit. Kidungnya berbentuk sinom atau dangdanggula.
Sambil mendengarkan lantunan kidung, sang anak yang ditimbang melemparkan uang ke tempat yang sudah disediakan. Uang tersebut nantinya menjadi milik juru timbang. Juru timbang biasanya akan mengantongi uang kurang lebih satu juta sampai lima juta tergantung tingkat ekonomi si empunya hajat.(Sumber:Kemendikbudristek)