Tugu Ali Anyang merupakan monumen yang terletak di bundaran persimpangan jalan raya Trans Kalimantan. Tugu ini telah menjadi salah satu ikon penting dan simbol perjuangan masyarakat Kalimantan Barat dalam menghadapi masa kolonial Belanda sebelum Indonesia meraih kemerdekaannya.
Sayangnya, tidak banyak orang yang menyadari betapa bermaknanya nilai-nilai serta simbol yang terdapat pada Tugu Ali Anyang ini. Monumen ini menampilkan patung Ali Anyang, seorang tokoh yang sangat penting dalam usaha pengusiran penjajah di Indonesia, khususnya di wilayah Kalimantan Barat.
Setiap kali masyarakat dari Sintang, Sekadau, Sanggau, dan daerah lainnya melintasi jalan menuju Pontianak, mereka pasti akan melihat Tugu Ali Anyang ini. Dengan memahami sedikit sejarah yang ada di balik Tugu Ali Anyang yang akan saya jelaskan di bawah ini, diharapkan dapat memotivasi kita semua. Ini mengingatkan kita bahwa kakek nenek kita adalah pejuang hebat yang tanpa mengeluh telah berjuang agar kita dapat menikmati kehidupan yang lebih baik saat ini.
Tugu Ali Anyang berlokasi di Jalan Lintas Kalimantan, Desa Sungai Ambawang Kuala, Kecamatan Sungai Ambawang, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat. Jaraknya dari Kota Kubu Raya atau Taman Dirgantara Lanud Supadio Kubu Raya adalah sekitar 15,6 km, yang dapat ditempuh dalam waktu sekitar 32 menit melalui Jalan Adi Sucipto dengan belok kanan ke Jalan Mayor Ali Anyang.
Jika Anda berangkat dari Pondok Kute atau Jembatan Kapuas 2, jarak ke Tugu Ali Anyang adalah sekitar 5 km atau sekitar 10 menit berkendara. Dari Wisata Kampung Kencana, jaraknya sekitar 4 km atau 9 menit berkendara. Sementara itu, dari Moll Transmart Kubu Raya, jaraknya adalah sekitar 7,5 km atau sekitar 17 menit berkendara jika lalu lintas lancar.
Baca Juga: Festival Babukung, Tradisi Budaya Suku Dayak Tomun
Tugu Ali Anyang diresmikan untuk menghormati Ali Anyang, seorang pejuang kemerdekaan Indonesia, dan di sekitarnya terdapat taman mini yang dihiasi pepohonan, bunga, dan rerumputan yang tertata rapi. Terdapat pula jalan trotoar dan tangga pendek yang memungkinkan pengunjung untuk duduk santai di sekitar tugu sambil mengenang perjuangan sang pahlawan.
Namun, perlu diingat bahwa kawasan ini adalah jalur cepat yang merupakan persimpangan tiga, sehingga pengunjung harus berhati-hati dan memperhatikan lalu lintas sebelum menyeberang ke arah Tugu Ali Anyang. Tugu ini tidak direkomendasikan sebagai tempat bersantai karena tingginya risiko lalu lintas yang melintasi kawasan tersebut.
Ali Anyang lahir pada 20 Oktober 1920 di Desa Nanga Manantak, sebuah pemukiman yang mayoritas dihuni masyarakat Dayak (Ambalau, Sintang), Kalimantan Barat. Ia merupakan putra dari Lakak (ayah) dan Liang (ibu). Nama aslinya adalah Anjang, yang kemudian diadopsi oleh keluarga bangsawan asal Jawa, Raden Mas Suadi Djoyomihardjo, yang telah menetap di Kalimantan Barat.
Ali Anyang menempuh pendidikan di Holland Inlandsche School (HIS), sebuah sekolah elit Belanda yang diperuntukkan bagi anak-anak dari keturunan bangsawan dan pemerintah kolonial. Meskipun ia anak angkat, keluarga Raden Mas Suadi Djoyomihardjo sangat menyayanginya. Ali Anyang juga memeluk agama Islam setelah diadopsi, mengganti namanya menjadi Mohammad Ali Anjang.
Baca Juga: Tari Siwar, Rayakan Keindahan Seni dan Budaya Lahat
Saat remaja, Ali Anyang bercita-cita menjadi petugas medis, memiliki jiwa sosial yang tinggi dan senang membantu orang-orang yang membutuhkan pertolongan medis. Ayah angkatnya mendukung cita-citanya dan mengirimnya ke Semarang untuk belajar perawatan medis. Setelah menyelesaikan pendidikan, ia bekerja di Rumah Sakit Umum Semarang dan kemudian pindah ke kampung halamannya di Pontianak.
Di Pontianak, Ali Anyang bergabung dengan PRRI (Panitia Penyongsong Republik Indonesia), sebuah organisasi yang dibentuk oleh para pemuda untuk menyambut dan menjaga kemerdekaan Republik Indonesia. Ia aktif berperan dalam pertempuran melawan tentara Belanda, termasuk serangan yang dilakukan pada 12 November 1945.
Ali Anyang kemudian diangkat sebagai Komandan Pasukan Barisan Pemberontak Republik Indonesia (BPRI) cabang Kalimantan Barat dan mendirikan pasukan baru bernama Barisan Pemberontak Indonesia (BPI). Pasukan ini bertugas melakukan serangan terhadap tentara Belanda di wilayah Bengkayang, Pontianak, Mempawah, Singkawang, dan Sambas.
Pada 1946, Ali Anyang dan pasukannya berhasil menyerang markas tentara Belanda di Bengkayang. Penyerangan ini mengakibatkan bendera Merah Putih berkibar di sana, dan lagu Indonesia Raya dinyanyikan sebagai bentuk kemenangan. Meskipun Belanda berhasil merebut kembali Bengkayang pada Oktober 1946, semangat juang Ali Anyang tidak padam.
Baca Juga: Otorita IKN Fasilitasi Ritual Adat Kutai Pelas Benua
Karena keberhasilannya, Belanda mengeluarkan sayembara untuk menangkapnya dengan hadiah 25.000 gulden. Meskipun dalam pengejaran itu, Ali Anyang tetap melawan dan melakukan perlawanan, termasuk serangan di tangsi militer Belanda di Sambas pada 10 Januari 1949.
Setelah berbagai pertempuran, pada 27 Desember 1949, Belanda akhirnya mengakui kedaulatan Republik Indonesia. Mendengar berita tersebut, Ali Anyang memerintahkan seluruh anggotanya untuk kembali ke kampung halaman.
Pada 1950, Ali Anyang menikah dengan Siti Hajir, seorang gadis asal Sambas, dan mereka dikaruniai delapan anak. Ia pernah menjabat sebagai Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) II Kabupaten Sambas. Ali Anyang wafat pada 7 April 1970 karena sakit dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Bambu Runcing, Singkawang.
Untuk mengenang jasa-jasanya, monumen Ali Anyang dibangun di simpang tiga jalan Trans Kalimantan Km-5, Kubu Raya, Kalimantan Barat. (Sumber: pancurajipost.com)