Ngaben merupakan tradisi masyarakat Bali dimana bertujuan untuk menyempurnakan jiwa orang yang sudah meninggal untuk kembali ke Sang Pencipta. Secara turun temurun, tradisi ini menjadi upacara yang sakral sekaligus meriah, tidak hanya bagi masyarakat Bali, namun juga wisatawan.
Menurut I Nyoman Singgin Wikarman, kata “ngaben” berasal dari kata “beya” yang artinya bekal. Ngaben disebut juga palebon yang berasal dari kata “lebu” yang berarti prathiwi atau tanah atau debu.
Dalam ajaran Hindu, dipercaya sebagai dewa pencipta, memiliki wujud sebagai Dewa Api. Jadi upacara ngaben adalah proses penyucian roh dengan cara dibakar menggunakan api agar bisa kembali ke Sang Pencipta. Api yang membakar dipercaya dapat membakar semua kotoran pada jasad dan jiwa orang yang telah meninggal.
Orang Hindu percaya bahwa jiwa manusia yang telah meninggal atau atma harus segera keluar, karena jika terlalu lama atma akan menderita. Untuk mempercepat prosesnya maka dilakukanlah upacara ngaben. Jika ditunda terlalu lama, rohnya akan gentayangan dan menjadi bhuta cuwil. Hal itu disebabkan karena roh-roh tersebut belum melepaskan keterikatannya dengan alam manusia.
Cagar Budaya Cagak Anim Kembali Berdiri Di Tridadi
Prosesi Upacara Ngaben
Mengadakan upacara ngaben termasuk menelan banyak biaya. Banyak persembahan yang disiapkan dan berbagai keperluan arak-arakan yang dibuat. Selain itu, seluruh penghuni banjar (setingkat rukun warga) harus membantu dalam persiapan.
Meski begitu ada banyak tingkatan dalam upacara ngaben, dan bagi mereka yang belum memiliki biaya, jenazah biasanya dikuburkan terlebih dahulu. Ngaben bisa dilakukan bertahun-tahun kemudian setelah keluarga almarhum memiliki cukup dana.
Upacara ini bisa diadakan secara massal atau kolektif. Pihak keluarga dapat membayar sejumlah uang atau bahkan gratis jika memang benar-benar tidak mampu. Meski demikian, ngaben massal tetap dilakukan untuk melestarikan tradisi ngaben itu sendiri.
Ada setidaknya sepuluh rangkaian dalam Upacara Ngaben. Pertama yaitu Ngulapin di mana seseorang memanggil atma dari jenazah yang sudah meninggal. Selanjutnya proses nyiramin, yaitu jenazah akan dimandikan agar reinkarnasi bisa lahir dengan kondisi tubuh yang baik.
Proses selanjutnya yaitu, Ngajum Kajang yang menunjukkan bahwa mereka siap melepas kepergian jenazah. Lalu jenazah akan disucikan dalam proses Ngaskara. Tahapan berikutnya yaitu Mameras yang hanya dilaksanakan jika orang yang meninggal sudah memiliki cucu.
Setelah itu, Papegatan, dalam tahap ini biasanya disertai dengan sesaji dimana keluarga dan kerabat sudah mengikhlaskan kepergian dari orang yang meninggal ini. Kemudian proses Pakiriman Ngutang dimana jenazah dikirim ke makam. Lalu melalui tahapan Ngeseng atau proses pembakaran jenazah.
Baru kemudian Nganyud, menghanyutkan abu jenazah ke laut atau sungai. Biasanya, setelah 12 kemudian, akan dilakukan prosedur bernama mangelud atau mangoras, di mana keluarga akan menyucikan serta membersihkan lingkungan rumah mereka yang bisa saja masih dipenuhi kesedihan dan rasa duka setelah meninggalnya anggota keluarga.
Ada dua hal penting yang harus ada dalam upacara ini. Pertama, badé yang merupakan menara mirip pagoda dengan jumlah ganjil untuk mengusung jenazah. Kedua, Patulangan merupakan sarkofagus dengan bentuk hewan atau makhluk mitologi tempat jenazah nantinya dikremasi.
(Anisa Kurniawati-Berbagai Sumber)