Tahun 2025 ini, sang sastrawan legendaris Pramoedya Ananta Toer, yang karyanya telah menjadi bagian penting dari sejarah sastra Indonesia, merayakan satu abad.
Meskipun Pram, begitu ia akrab disapa, telah tiada, karya-karyanya tetap hidup dan bersinar, menginspirasi berbagai kalangan dan dunia sastra Indonesia hingga saat ini.
Sebagai salah satu sastrawan yang tak pernah lepas dari kontroversi, Pram meninggalkan jejak yang tak terlupakan di dunia sastra Indonesia dan dunia internasional.
Karya dan Perjuangan Hidup Pramoedya
Pramoedya Ananta Toer dikenal sebagai sastrawan yang lahir dan besar dalam berbagai fase perjalanan bangsa ini. Pram menyaksikan dan mengalami era penjajahan Belanda, pendudukan Jepang, Reformasi hingga Orde Baru
Namun, hidupnya tidak pernah mulus. Ia kerap berhadapan dengan kekuasaan dan berbagai tekanan akibat pandangan politiknya yang kritis. Perjuangan hidup Pram tidak hanya terbatas pada sastra.
Pada tahun 1973, ia menerima surat dari Presiden Soeharto yang menyatakan kekhilafan dan mendorongnya untuk melanjutkan hidup dengan kejujuran, keberanian, dan kemampuan untuk menemukan jalan yang benar.
Sebuah ajakan yang ditanggapi Pram dengan penuh ketabahan.
Dalam balasan suratnya, Pram mengungkapkan bahwa orang tuanya mengajarkan untuk mencintai kebenaran, keadilan, dan bangsa.
Menyusuri Sisi Gelap Kehidupan Pram
Namun, hidup Pram jauh dari kesenangan. Ia pernah merasakan kelaparan dan kemiskinan.
Penghasilan dari menulis tak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Karyanya kerap dibatasi untuk diterbitkan, sehingga situasi ekonomi pun semakin terpuruk.
Bahkan, kehidupan rumah tangganya pun berujung perpisahan, meskipun akhirnya ia dipertemukan dengan istri yang menemani hingga akhir hayatnya, Maimunah Thamrin.
Kendati demikian, Pram tetap teguh pada prinsipnya. Ia menolak untuk menurunkan kualitas karyanya hanya demi uang. Ia percaya bahwa sastra adalah alat perjuangan dan penyampaian kebenaran yang tidak bisa dipermainkan.
Sebagai penulis, ia bekerja dengan banyak penerbit yang mendukungnya, salah satunya Lekra.
Berkat dukungan ini, Pram mampu mengatasi kondisi perekonomian yang sulit dengan menerjemahkan buku-buku asing, seperti Ibunda karya Maxim Gorky.
Baca juga: Fadli Zon Apresiasi Pameran Seabad Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya: Sang Seteru dan Idealismenya
Pram dikenal dengan sikapnya yang tegas dan idealis. Dalam karya-karyanya, ia selalu berusaha menyuarakan kebenaran dan keadilan.
Ia tidak takut untuk berseberangan dengan kekuasaan atau kelompok tertentu.
Bahkan, menurut sahabatnya, Ajip Rosidi, Pram sangat teguh pada keyakinannya, meskipun ia pernah dipersepsikan sebagai sosok yang ‘berseberangan’ dengan paham-paham yang ada di masanya.
Namun, sikap idealis ini membawa konsekuensi berat bagi Pram. Ia harus menghadapi banyak sekat dan hambatan, baik dari segi ekonomi maupun sosial.
Ketika karya-karyanya dibatasi di penerbitan mainstream, ia harus mencari jalan alternatif, seperti yang dilakukan dengan bekerja sama dengan Lekra.
Sebagai Villain dalam Sejarah Sastra
Meskipun banyak pihak yang menyebut Pram sebagai sosok yang kontroversial, karya-karyanya tetap mencatatkan namanya sebagai bagian penting dari sejarah sastra Indonesia.
Bahkan, karya-karyanya sempat menarik perhatian dunia internasional dan mendorong nama Pramoedya untuk mendapatkan penghargaan Nobel Sastra.
Meskipun itu hanya menjadi mimpi, pengaruh Pram tetap besar. Sebagai penulis, Pramoedya Ananta Toer mengajak kita merenung lebih dalam tentang kehidupan dan perjuangan bangsa.
Karyanya, meskipun sering dianggap sebagai karya yang mengkritisi pemerintah dan situasi sosial politik, tetap menjadi cermin penting untuk melihat sisi lain dari kehidupan Indonesia.
Menjaga Warisan Pram
Kini, meskipun Pram telah tiada, warisannya hidup melalui karya-karyanya. Kita masih bisa membaca dan memaknai apa yang ia tulis, serta memandangnya sebagai bagian dari sejarah sastra kita.
Ia adalah contoh nyata bagaimana seorang sastrawan bisa berjuang melalui kata-kata, tanpa pernah takut untuk mengungkapkan kebenaran.
Nama Pramoedya Ananta Toer akan terus dikenang sebagai pahlawan sastra Indonesia, yang meskipun banyak seteru, tetap teguh dalam perjuangan menegakkan nilai-nilai kemanusiaan.
Dengan usia seratus tahun, Pram mengingatkan kita bahwa sastra bukan hanya tentang seni, tetapi juga tentang keberanian untuk menyuarakan kebenaran. (Diolah dari berbagai sumber)