Seabad Pramoedya Ananta Toer pada Februari 2025 dirayakan di berbagai tempat, termasuk di Yogyakarta. Diskusi mengenai pemikiran dan karya Pram, sastrawan besar dari Blora yang banyak menghabiskan hidupnya di pengasingan Pulau Buru, berlangsung di berbagai komunitas literasi.
Salah satunya digelar Klub Buku Bahagia di Akademi Bahagia, Ngaglik, Sleman. Pram dikenal dengan karya-karya yang sarat kritik sosial, mulai dari Tetralogi Buru hingga Tetralogi Arok Dedes.
Karya-karyanya begitu tajam dalam menyuarakan perlawanan terhadap ketidakadilan, hingga dilarang pada masa Orde Baru. Muhidin M. Dahlan, seorang arsiparis, bahkan menyebut Pram sebagai “aktivis jalanan” yang terus mengguncang kesadaran pembacanya.
Berikut tiga catatan penting Pramoedya tentang Yogyakarta terkait pandangan dan gagasannya berakar kuat dalam sejarah dan kebudayaan dilansir dari kanal YouTube Mojokdotco.
- Misi Revolusioner terhadap Sastra Jawa
Pada tahun 1964, Pram menghadiri seminar di Universitas Gadjah Mada (UGM) bertajuk “Membina Sastra Jawa Revolusioner sebagai Senjata Rakyat untuk Menyelesaikan Revolusi Agustus 1945 Sampai ke Akar-akarnya”.
Dalam forum itu, ia menyatakan bahwa Sastra Jawa memiliki potensi besar untuk menjadi alat perjuangan rakyat, bukan sekadar cerita mendayu-dayu yang melanggengkan feodalisme.
Pram menekankan, sastra dalam budaya Jawa menyatu dengan kehidupan sehari-hari, seperti dalam ludruk dan tembang-tembang rakyat. Namun, ia mengkritik isi karya-karya yang masih berkutat pada glorifikasi raja dan ksatria.
Menurutnya, kisah seperti Rara Mendut dan Pranacitra lebih relevan untuk membangkitkan kesadaran kelas daripada cerita-cerita epos seperti Ramayana atau Mahabharata.
Baca juga: 100 Tahun Sang Maestro Sastra Pramoedya Ananta Toer
- Kritik terhadap Kekerasan dalam “Mangir”
Dalam novel Mangir, bagian dari Tetralogi Arok Dedes, Pram menggambarkan perlawanan Ki Ageng Mangir terhadap mertuanya sendiri, Panembahan Senopati, pendiri Mataram Islam.
Melalui karya ini, Pram menyampaikan kritik keras terhadap watak penguasa kraton yang melanggengkan kekerasan demi mempertahankan kekuasaan.
Muhidin M. Dahlan menilai bahwa Mangir adalah salah satu tafsir paling tajam Pram dalam menelanjangi sifat otoriter penguasa. Lewat novel ini, Pram mengingatkan bahwa sejarah kekerasan terhadap rakyat sudah terjadi sejak lama, dan terus berulang dalam berbagai bentuk.
- Menyangkal Keaslian Sosok Nyi Roro Kidul
Salah satu pandangan kontroversial Pram adalah kritiknya terhadap mitos Nyi Roro Kidul, sosok magis yang disebut penguasa Laut Selatan dan memiliki hubungan dengan Keraton Mataram Islam.
Dalam pidato penerimaan Ramon Magsaysay Award 1988, Pram menyatakan bahwa Nyi Roro Kidul hanyalah mitos yang diciptakan pujangga Mataram sebagai penghibur atas kekalahan Sultan Agung dalam dua kali serangan ke Batavia pada 1628 dan 1629.
Menurut Pram, kekalahan itu berdampak besar bagi Mataram karena menyebabkan hilangnya kendali atas jalur perdagangan Pantai Utara Jawa. Untuk menutupi kegagalan itu, diciptakanlah mitos bahwa Mataram masih berkuasa di Laut Selatan melalui figur Nyi Roro Kidul.
Pram juga menyinggung tabu yang berkembang akibat mitos itu, seperti larangan memakai pakaian hijau di Pantai Selatan. Menurutnya, larangan ini muncul karena hijau adalah warna seragam serdadu VOC, yang saat itu menjadi musuh utama Mataram.
Warisan Pemikiran Pram yang Tak Lekang Waktu
Melalui ketiga catatan ini, Pram tidak hanya menawarkan kritik sosial, tetapi juga menantang narasi sejarah yang dianggap mapan. Ia menunjukkan bahwa sastra dan mitos sering kali digunakan untuk mempertahankan kekuasaan.
Hingga kini, pemikirannya tetap relevan dan terus menginspirasi generasi muda dalam membaca ulang sejarah dengan sudut pandang yang lebih kritis. (Diolah dari berbagai sumber)