Wotagei adalah sebuah aksi menari yang dilakukan para penari dengan menggunakan tongkat bercahaya. Ciri khas dari wotagei adalah tarian yang cepat, penuh semangat, dan penuh energi.
Gerakan-gerakan dinamis ini biasanya dipadukan dengan musik yang memiliki ritme yang cepat, memberikan kesan yang enerjik dan menghibur.
Yokai: Komunitas Wotagei di Yogyakarta
Di Yogyakarta, wadah yang memfasilitasi para penggemar wotagei adalah komunitas Yokai.
Komunitas ini mulai terbentuk pada 23 September 2023 dan telah menjadi tempat bagi para anak muda untuk mendalami budaya jejepangan, khususnya wotagei.
Melalui akun Instagram mereka, @yokai.ind, komunitas ini terus berkembang dan menginspirasi banyak orang untuk terlibat dalam budaya Jepang ini. Davin Naro, yang lebih dikenal dengan nama Vins, adalah pemimpin komunitas ini.
Ia menjelaskan bahwa awalnya Yokai adalah komunitas yang diperuntukkan bagi mereka yang mendukung idol, menyukai anime, dan mengoleksi merchandise.
Namun, seiring berjalannya waktu, mereka semakin tertarik untuk lebih mendalami kultur jejepangan, khususnya dalam hal wotagei.
Perjalanan Komunitas Yokai
Vins menceritakan bahwa sekitar tiga atau empat orang pertama yang tergabung dalam Yokai mulai mengenal teknik tarian menggunakan lampu. Mereka terus belajar dan berlatih hingga akhirnya membentuk kelompok ini.
Meski komunitas ini masih terbilang baru, mereka sudah beberapa kali diundang untuk tampil di berbagai acara.
Baca juga: 50 Tahun Berkarya Seniman Multi Talenta Didi Nini Thowok
Teknik dan Gerakan Penari Wotagei
Salah satu aspek penting wotagei adalah teknik gerakan waza. Menurut Vins, jumlah gerakan waza dalam wotagei ini tidak terbatas dan tiap gerakan memiliki pola dan makna tersendiri.
Beberapa gerakan populer antara lain thunder snake, muramasa, dan amaterasu, yang terinspirasi mitologi Jepang.
“Kalau thunder snake itu awalnya gerakan petir lalu membuat bulatan seperti menggambarkan ular,” kata Vins dilansir dari radarjogja.jawapos.com.
Setiap lagu yang dipilih untuk tarian wotagei tidak memiliki batasan genre tertentu, meskipun sebagian besar masih berbau jejepangan. Yang terpenting adalah ketukan atau beats per minute (BPM) lagu yang biasanya berkisar antara 160 hingga 180 BPM.
Vins menjelaskan bahwa angka ini tidak terlalu cepat dan tidak terlalu lambat, sehingga gerakan tubuh masih terasa nyaman.
Menari di Malam Hari dengan Light Stick
Wotagei sering kali dilakukan pada malam hari, sehingga penggunaan tongkat bercahaya atau light stick menjadi elemen penting dalam tarian ini.
“Satu lagu bisa macam-macam gerakannya dan bisa diulang juga. Gak masalah,” tambah Vins. Kombinasi antara lagu, gerakan, dan cahaya ini menciptakan sebuah pengalaman visual dan musikal yang menyenangkan.
Wotagei: Olahraga yang Menghibur
Selain sebagai bentuk seni dan ekspresi budaya, Vins juga menilai bahwa wotagei dapat dianggap sebagai olahraga. Gerakan yang cepat dan melibatkan seluruh anggota tubuh membuat tarian ini membutuhkan banyak energi.
Vins pun menambahkan, “Sudah seperti kardio. Aku gerak 30 detik aja udah keringetan.”
Penggemar Wotagei: Laki-laki Mendominasi
Vins juga menyadari bahwa wotagei lebih banyak diminati kalangan laki-laki, mengingat banyak penggemar idol group atau wibu yang juga didominasi laki-laki.
Namun, ia menegaskan bahwa meskipun penari wotagei banyak laki-laki, perempuan yang tertarik untuk belajar dan menari wotagei pun tetap disambut baik dalam komunitas.
Kompetisi Wotagei di Jakarta
Kepopuleran wotagei semakin berkembang. Bahkan, di Jakarta sudah ada kompetisi wotagei yang diadakan secara rutin.
Hal ini menandakan semakin banyaknya minat terhadap kegiatan ini. Vins pun memberikan pesan kepada para peminat wotagei agar tidak merasa terbebani untuk menguasai semua gerakan waza.
“Intinya dibawa seneng dan ngalir aja,” ujarnya.
Menurut Vins, hal yang paling penting adalah kebahagiaan dan kesenangan dalam menari wotagei, serta pemahaman lebih dalam tentang kultur jejepangan. (Dari berbagai sumber)