Banjarnegara, sebuah kota yang terletak strategis di antara beberapa kota besar di Jawa Tengah, dikelilingi oleh Wonosobo di timur, Purbalingga di barat, Kebumen di selatan, serta Batang dan Pekalongan di utara. Sejarah kota ini berawal dari perjalanan seorang tokoh kharismatik bernama Kyai Maliu. Dengan penuh keyakinan, beliau menelusuri hutan, gunung, dan lembah selama berhari-hari, mencari tempat yang tepat untuk mendirikan pondok. Meskipun rasa lelah dan haus terus menghantui, tekadnya tidak surut.
Perjalanan Kyai Maliu membawanya ke sebuah tempat di dekat Kali Merawu, yang pemandangan alamnya begitu mempesona. “Apakah ini tempat yang selama ini kucari?” gumamnya dalam hati. Tanah di sekitar Kali Merawu membentang berbanjar, dikelilingi oleh keindahan pegunungan Kendeng yang sejuk. Merasa inilah tempat yang tepat, Kyai Maliu segera mendirikan sebuah pondok indah di tepi sungai tersebut, tepat di sekitar lokasi yang kini dikenal sebagai Jembatan Clangap.
Kyai Maliu, yang dikenal berperangai baik, jujur, tekun, dan disiplin, segera mendapatkan penghormatan dari masyarakat di sekitarnya. Tak lama kemudian, daerah di sekitar pondoknya berkembang menjadi sebuah desa yang tertata rapi dan bersih, berkat teladan yang diberikan oleh Kyai Maliu.
Suatu hari, Kyai Maliu mengumpulkan warga di padepokan untuk bermusyawarah. Setelah mengucapkan terima kasih atas kehadiran mereka, Kyai Maliu mengangkat satu pertanyaan penting: “Apakah kalian sudah merasa nyaman tinggal di sini?” Setelah mendapat konfirmasi dari seluruh warga, Kyai Maliu melanjutkan, “Tempat ini belum memiliki nama, dan saya ingin kita bersama-sama menentukan nama yang tepat.” Setelah banyak perdebatan dan usulan, Kyai Maliu mengusulkan nama “Banjar” berdasarkan bentuk tanah yang berundak dan berbanjar sepanjang aliran sungai. Usulan ini disepakati oleh semua warga, dan Kyai Maliu diangkat sebagai pemimpin desa, yang kemudian dikenal sebagai Kyai Ageng Maliu Petinggi Banjar.
Di bawah kepemimpinannya, desa Banjar berkembang pesat, terutama di bidang pertanian. Desa ini dikenal sebagai lumbung padi yang mampu memenuhi kebutuhan pangan di wilayah sekitarnya. Selain itu, kehidupan beragama juga tumbuh subur, dengan masjid-masjid yang tidak hanya digunakan sebagai tempat ibadah, tetapi juga sebagai tempat bermusyawarah untuk berbagai urusan desa. Segala kegiatan, mulai dari penanaman padi hingga panen, dilakukan secara gotong royong dengan semangat kekeluargaan.
Pada suatu waktu, tiga tamu istimewa datang mengunjungi pondok Kyai Ageng Maliu. Mereka adalah Giri Wasiyat, Prapen, dan Giri Pit, putra Sunan Giri dari Gresik. Setelah menyambut tamunya dengan hangat, Kyai Ageng Maliu merasa terhormat dengan kedatangan para ulama tersebut. Dalam diskusi yang terjadi, Giri Wasiyat menekankan pentingnya mengamalkan ilmu yang dimiliki untuk kemaslahatan orang lain, sesuai ajaran yang diwariskan oleh Nabi Muhammad.
Kehadiran tamu-tamu agung tersebut mempererat hubungan antara Kyai Ageng Maliu dan ulama besar dari Gresik. Bahkan, untuk memperkokoh persahabatan, Giri Wasiyat menghadiahkan putrinya, Nyai Barep, untuk dinikahkan dengan Kyai Ageng Maliu. Setelah pernikahan itu, Kyai Ageng Maliu bersama istrinya terus melanjutkan dakwah dan membina masyarakat di desa Banjar, baik dalam bidang keagamaan maupun pertanian. Desa tersebut kemudian berkembang menjadi pusat perdagangan yang ramai, dan akhirnya menjadi sebuah kadipaten yang dikenal dengan nama Banjar Watu Lembu. Lokasi pusat pemerintahan kemudian dipindahkan ke sebelah selatan Kali Merawu, dan wilayah tersebut kini dikenal sebagai Kota Banjarnegara.
Banjarnegara berasal dari dua kata, yaitu “Banjar” yang berarti sawah atau tanah yang luas, dan “Negara” yang berarti kota. Dengan demikian, kota ini awalnya didirikan di atas lahan pertanian yang luas dan datar, menjadi pusat pemerintahan yang terus berkembang hingga sekarang. (Achmad Aristyan – Sumber: budaya-indonesia.org)