Buya Hamka adalah salah satu tokoh besar Indonesia yang meninggalkan jejak panjang dalam bidang keagamaan, sastra, dan pemikiran. Di luar sosoknya yang dikenal sebagai ulama besar, Hamka turut masuk dalam jajaran intelektual sekaligus penulis prolifik. Karyanya terdiri dari buku maupun artikel dari berbagai genre.
Nama Hamka merupakan singkatan dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah. Buya lahir pada 17 Februari 1908 di Minangkabau, Sumatra Barat. Ia tumbuh di lingkungan keluarga yang religius. Kemudian mengikuti ayahandanya, ia pindah ke Sumatera Thawalib, di Padang Panjang. Ia sempat belajar di Perguruan Thawalib namun tidak sampai tamat.
Saat Buya Hamka berusia 12 tahun, kedua orang tuanya bercerai. Hal ini berdampak pada perkembangan jiwanya yang merasa kurang mendapatkan kasih sayang dari orang tuanya. Beruntungnya, nenek Hamka sangat menyayanginya, sehingga dia lebih banyak menghabiskan waktu tinggal bersama neneknya.
Pada tahun 1924, ia memutuskan untuk merantau ke Pulau Jawa dan mulai belajar pergerakan Islam modern kepada sejumlah tokoh seperti H.O.S Tjokroaminoto, Ki Bagus Hadikusumo, R.M Soerjopranoto dan H. Fakhruddin. Ia belajar sosiologi, filsafat, sejarah Islam dan lainnya.
Setahun kemudian, Hamka kembali ke Minang. Saat itu ia telah menjadi ulama muda yang disegani dan dikenal sebagai tukang pidato. Di sana ia membuka kursus-kursus pidato untuk kalangan seusianya.
Namun tak lama kemudian Buya kembali merantau untuk menambah pengetahuannya. Pada 1929, Buya Hamka menikah dengan Siti Raham. Kala itu, Hamka berusia 21 tahun, sementara istrinya berusia 15 tahun.
Hamka dan Dunia Sastra
Selain dikenal sebagai tukang pidato, Hamkajuga dikenal sebagai penulis produktif dengan puluhan karya dalam bentuk novel, esai, dan buku. Dia juga pernah aktif dalam dunia pers Muhammadiyah dan menjadi pemimpin redaksi Majalah Pedoman Masjarakat.
Perjalanannya di dunia kepenulisan berawal dari tahun 1925 ketika ia kembali ke Minang. Pada saat itu, Buya menulis kumpulan pidato yang diberi judul Chatibul Ummah. Namun, saat itu semuanya dikritik tajam oleh ayahnya. Tak lama setelah itu, ia pergi ke Makkah untuk menjalankan ibadah haji dan memperdalam ilmunya.
Setelah kepulangannya dari Makkah, Buya Hamka menetap di Medan. Di situ, ia menulis banyak artikel untuk berbagai majalah dan laporan-laporan perjalanan. Pada 1928, ia menulis roman pertamanya dalam bahasa Minangkabau berjudul Si Sabariyah.
Setahun berikutnya ia menulis beberapa buku seperti Agama dan Perempuan, Pembela Islam, Adat Minangkabau, Agama Islam, Ayat-Ayat Mi’raj, dan Kepentingan Tabligh. Selain itu, Buya juga menulis novel yang kemudian menjadi terkenal yaitu, “Di Bawah Lindungan Ka’bah” dan “Tenggelamnya Kapal van der Wijck,” Novel ini sempat diangkat menjadi film.
Beberapa buku lainnya yaitu Merantau ke Deli, Angkatan Baru, Terusir, Tasawuf Modern, Falsafah hidup, dan lainnya. Bahkan, pada 1943, majalah Pedoman Masyarakat yang dipimpinnya, pernah dibredel oleh Jepang yang saat itu berkuasa.
Buya Hamka meninggal di Rumah Sakit Pusat Pertamina Jakarta pada Jumat, 24 Juli 1981, pukul 10.30 WIB, bertepatan dengan tanggal 22 Ramadhan 1401 H pada usia 73 tahun. Jenazah Buya Hamka dimakamkan di pekuburan Tanah Kusir, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.
Pada tahun 7 November 2011, menurut Keppres No.113/TK/Tahun 2011, Buya Hamka dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia. Untuk mengenang jasanya, berlokasi di tanah kelahirannya, didirikan sebuah bangunan yang dijadikan museum. (Anisa Kurniawati-Berbagai Sumber)