Ludruk, adalah seni teater rakyat yang berasal dari Jawa Timur. Dalam pertunjukan ludruk biasanya terdapat unsur tari remo, dagelan, selingan, dan cerita. Kisahnya diangkat dari kehidupan Masyarakat sehari-hari dengan bahasanya mudah dimengerti dan bahkan diselingi guyonan.
Pada era 70-90 an di Jawa Timur, pertunjukan Ludruk masih sering dapat ditemui. Pada masa itu, di kota Malang, yang terkenal adalah Ludruk Wijaya Kusuma dengan pelawaknya Cak Tamin, Nurbuat dan Cak Subur. Kemudian muncul Cak Kartolo dan kawan-kawannya di era 80-90 an. Hampir seluruh masyarakat Jawa Timur mengenal kesenian ini.
Ludruk sendiri adalah kesenian teater rakyat Jawa Timur yang berasal dari kalangan rakyat jelata. Menurut Sunaryo H.S. dkk dalam Perkembangan Ludruk di Jawa Timur, ludruk mulai dikenal pada abad ke-12 dengan nama Ludruk Bandhan.
Biasanya, Ludruk Bandhan ditampilkan di tanah lapang dengan diiringi musik pengiring kendang dan jidor. Kemudian Ludruk Bandhan berkembang menjadi Lerok Pak Santik selama abad ke-17 sampai 18.
Pak Santik sendiri merupakan seorang petani dari Jombang, Jawa Timur yang memperbaharui kesenian ludruk. Biasanya pertunjukan ini ditampilkan Pak Santik dalam pesta pernikahan, sunatan, dan kelahiran di kampung-kampung.
Seiring dalam berkembangnya, pertunjukan juga ditambahkan dengan guyonan dan bahasa tubuh. Kemudian, mulai ada unsur dialog dan cerita (lakon) dalam ludruk. Pertunjukan semacam ini diikuti seniman lain dan berkembang di Surabaya, Malang, dan Mojokerto.
Dalam pertunjukan ludruk tidak ada pakem khusus. Semua pemain dituntut berimprovisasi dan mengembangkan jalan cerita yang sudah dibuat terlebih dahulu. \
Baca juga: Kesenian Ebeg Banyumas, Antara Peperangan Dan Kesurupan
Media Penyampai Kritik
Ludruk kemudian identik dengan guyonan. Awalnya sering diselingi dagelan slapstick (lawak kasar fisik). Pada 1920-an setelah muncul ludruk Cak Gondo Durasim, ludruk lebih cenderung ke lawak halus, dengan permainan kata-kata dan sindiran sosial-politik.
Cak Durasim melalui kelompoknya, Ludruk Gondo adalah tokoh yang melegenda. Ia dikenal sering menyampaikan ide-ide nasionalisme dan perlawanan di pertunjukannya. Pada masa Jepang, Cak Durasim menciptakan kidungan yang legendaris: “Pegupon omahe doro, melok Nipon tambah soro.” Artinya, “pegupon rumah burung dara, ikut Nipon tambah sengsara.”
Sebagai akibatnya, dia disiksa oleh tentara Jepang dan kemudian meninggal dunia pada 1944. Kemudian ludruk tersebut dilanjutkan oleh Wibowo atau Cak Gondo bersama Ludruk Marhaen yang terkenal pada era 1950-an hingga 1965.
Pada masa penjajahan, ludruk dikenal sebagai media penyalur kritik sosial kepada pemerintah. Kritik sosial ini ditampilkan melalui pantun yang berisi sindiran terselubung. Kemudian ceritanya berkembang dengan menampilkan adegan cerita yang mencerminkan situasi kehidupan masyarakat dan lingkungannya.
Cerita tersebut berisi mengenai keprihatinan masyarakat yang terjajah. Di samping itu, juga mengandung unsur-unsur yang mendorong perjuangan. Kesenian ini juga sempat berfungsi menjadi penyampai kebijaksanaan pemerintah.
Baca juga:Menyelisik Mak Yong, Kesenian Teater Tradisional Riau
Sempat redup di awal Orde Baru
Kesenian ini sempat redup di awal Orde Baru. Sebelum kemudian sejumlah seniman ludruk seperti Kartolo dan kawan-kawan muncul dan mampu mengangkat kembali pamor ludruk yang sempat redup. Namun, sekarang ini, boleh dikatakan bahwa kesenian Ludruk hampir punah.
Mungkin dikarenakan generasi penerus setelah Cak Kartolo, kualitasnya berbeda. Ditambah lagi kalah dengan tayangan-tayangan dari berbagai media, seperti film-film asing dan sinetron. Meski begitu, ludruk masih kerap dipentaskan meski hanya dimainkan oleh beberapa puluh orang.
Panggung teater ludruk bisa bertahan karena cerita yang dipentaskan sangat dekat dengan kehidupan dan budaya masyarakat setempat. Selain itu, disampaikan dengan bahasa yang mudah dimengerti dan disertai lawakan yang menghibur. (Sumber: indonesiakaya.com dan sumber lainnya)