Wilayah pantai Utara Jawa sejak lama dikenal kaya dengan warisan budaya, salah satunya tradisi Ngarot. Upacara adat unik dan penuh makna ini beraasal dari Desa Lelea, Kecamatan Lelea, Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat.
Istilah “Ngarot” berasal dari bahasa Sunda artinya minum atau “ngaleueut.” Interpretasi lain, kata ini berasal dari bahasa Sansekerta “Ngaruat,” yang bermakna pembebasan dari kutukan.
Dilansir dari indramayukab.go.id, tradisi ini digelar sebagai bentuk rasa syukur masyarakat Lelea menyambut datangnya musim tanam. Upacara digelar setiap tahun pada minggu ketiga bulan Desember, tepat pada hari Rabu yang dianggap keramat masyarakat setempat.
Uniknya, upacara ini hanya melibatkan para pemuda-pemudi yang masih perjaka dan perawan. Berdasarkan sejarah Desa Lelea, tradisi ini bertujuan untuk mempererat hubungan sosial di antara generasi muda sekaligus menanamkan nilai gotong-royong dalam mengolah sawah.
Prosesi Ngarot
Tradisi Ngarot pertama kali dirintis Ki Buyut Kapol, seorang tokoh masyarakat yang sangat dihormati. Ia dengan sukarela mewakafkan tanah seluas 26.100 meter persegi untuk mendukung acara ini.
Berdasarkan kisah yang diwariskan secara turun-temurun, Ki Kapol tidak memiliki anak sehingga ia mencurahkan cintanya kepada pemuda-pemudi desa dengan menyediakan tanah wakaf untuk digarap bersama. Melalui tradisi ini, Ki Kapol berharap generasi muda desa bisa terhindar dari perilaku negatif dan lebih fokus pada kegiatan bermanfaat.
Upacara Ngarot terdiri tiga bagian utama, yaitu arak-arakan, prosesi seserahan, dan pesta pertunjukan. Pesertanya mengenakan pakaian adat khas daerah. Remaja putri mengenakan kebaya berselendang yang dilengkapi aksesori seperti kalung, gelang, cincin, bros, dan hiasan rambut. Sementara itu, remaja putra mengenakan baju komboran, celana gombrang, serta ikat kepala.
Baca juga: Kenduri Rabu Abeh, Tradisi Tolak Bala Masyarakat Aceh
Acara dimulai pukul 08.30 pagi, ketika para peserta berkumpul di rumah kepala desa untuk didandani. Setelah itu, mereka mengikuti arak-arakan keliling kampung diringan musik tradisional khas Indramayu. Prosesi dipimpin kepala desa, diikuti barisan remaja putri dan barisan remaja putra.
Setelah arak-arakan selesai, peserta memasuki balai desa dan disambut dengan tarian tradisional seperti Tari Topeng dan Ketuk Tilu. Selanjutnya, acara memasuki tahap inti, yang dimulai dengan pembukaan, pembacaan sejarah Ngarot, dan sambutan dari kepala desa.
Prosesi dilanjutkan dengan sesi seserahan, di mana berbagai simbol diberikan. Kepala desa menyerahkan kendi berisi air putih sebagai lambang benih yang akan ditanam, sedangkan pupuk diserahkan tetua desa untuk melambangkan kesuburan. Raksa bumi menyerahkan alat pertanian yang melambangkan kerja keras, dan tokoh agama memberikan bambu kuning serta daun andong sebagai simbol perlindungan terhadap sawah dari serangan hama.
Tradisi Ngarot sarat dengan makna filosofis yang tersirat dalam berbagai simbol. Bunga kenanga mengingatkan remaja putri untuk menjaga kesucian diri, sementara bunga melati melambangkan kebersihan dan kemurnian. Bunga kertas menjadi pesan agar remaja putri menjaga kecantikannya sebagai “kembang desa.”
Aksesori emas seperti kalung, gelang, dan cincin melambangkan kerja keras para petani, sedangkan selendang menyiratkan pentingnya menjaga penampilan fisik. Seluruh rangkaian ini menunjukkan bahwa upacara Ngarot tidak hanya menjadi warisan budaya, tetapi juga mengajarkan nilai-nilai moral yang mendalam bagi masyarakat Desa Lelea.
Baca juga: Larung Sesaji Bumi Bukan Hanya Sebuah Tradisi
Tradisi Bermakna
Tradisi ini tidak hanya menjadi wadah untuk mempersiapkan musim tanam, tetapi juga sarana membina hubungan sosial yang sehat di antara generasi muda. Dari tradisi Ngarot, para pemuda-pemudi belajar nilai kerja sama, gotong-royong, dan penghormatan terhadap budaya lokal.
Tradisi Ngarot merupakan warisan budaya tak benda yang wajib dilestarikan, mengingat nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya. Selain menjadi ajang berkumpul, tradisi ini juga mencerminkan harmoni antara manusia, alam, dan budaya lokal yang terus hidup di tengah modernisasi. (Diolah dari berbagai sumber)