Menikmati kopi di kedai-kedai kopi Aceh sambil berdiskusi aneka topik telah menjadi gaya hidup masyarakat di Serambi Mekkah saat ini. Tak heran, bila kedai-kedai kopi menjamur di penjuru Banda Aceh, ibu kota Provinsi Aceh.
Sejatinya, masyarakat di Bumi Rencong tak bisa dilepaskan dari budaya menyeruput kopi. Itulah mengapa kedai kopi tumbuh subur bak cendawan di musim penghujan.
Tua-muda, pekerja kantoran, orang biasa hingga pejabat silih berganti mengisi setiap sudut kedai kopi yang tersebar di Banda Aceh dan kota-kota lain di Aceh. Kedai-kedai kopi pun tak pernah kekurangan pengunjung dan tetap buka 24 jam.
Aceh merupakan rumah bagi kopi kualitas terbaik dan telah terkenal di dunia, misalnya kopi gayo dari kawasan dataran tinggi Gayo di Kabupaten Gayo Lues.
Kopi gayo berasal dari varietas kopi arabika dan telah mendapatkan Fair Trade Certified dari organisasi internasional Fair Trade, 27 Mei 2010. Specialty Coffee Association of America (SCAA) yaitu asosiasi kopi terbesar di Amerika Serikat bahkan selalu menempatkan kopi gayo pada urutan teratas dalam setiap penilaian uji cita rasa (cupping test). Rata-rata hasil cupping test kopi gayo yaitu 86–90 poin, padahal untuk dinobatkan sebagai salah satu kopi kategori specialty dari SCAA, diperlukan skor 80 poin dari penilaian pakar uji cita rasa.

Selain itu, kedai kopi di Aceh juga menyajikan kopi susu, kopi sanger, dan kopi hitam. Kopi sanger sekilas mirip kopi susu. Bedanya, komposisi gula dan susu kental manis disajikan dalam takaran tertentu sehingga aroma kopi tetap dominan. Tak hanya itu, buih dari kopi sanger muncul lebih banyak karena sebelum disajikan dikocok terlebih dulu.
Agar kualitas dan cita rasa unik, biji kopi harus melalui proses sekira 4 jam untuk mensangrai dan untuk mencapai kematangan 80 persen, biji kopi dicampur gula dan mentega dengan takaran tertentu. Setelah itu, biji kopi masak digiling hingga halus agar membangkitkan aroma kopi yang kuat, bersih, dan tidak masam.
Cara penyajian kopi Aceh di kedai-kedai kopi juga tak kalah menarik lantaran diseduh menggunakan air yang terus direbus dan terjaga titik didihnya.
Seduhan kopi tadi disaring berulang menggunakan saringan khusus terbuat dari kain yang dituangkan secara bergantian dari satu ceret ke ceret lain. Hasilnya adalah kopi yang sangat pekat, harum, dan bersih tanpa ada bubuk kopi lagi di dalam tiap seduhannya.
Sejak Akhir Abad 19
Kopi berkembang di Nusantara seiring program tanam paksa atau cultur stelsel dari kolonial Belanda ketika masyarakat diwajibkan menanam kopi pada seperlima dari luas lahan miliknya. Saat itu, Belanda membawa masuk bibit kopi robusta dan arabika ke Nusantara sejak 1696 silam.

Snouck Hurgronje, orientalis Belanda yang lama berdiam di Aceh dalam bukunya “Gayo Masyarakat dan Budayanya” mengungkapkan kalau tanaman kopi sudah ada di Gayo sejak akhir abad 19.
Saat itu kopi masih berupa tanaman liar dan tidak dikembangkan secara baik. Hal itu dapat dimaklumi karena seperti dikutip dari Pepercultuur in Atjeh, tanaman lada telah lebih dulu berkembang sejak era 1515 ketika Kesultanan Aceh Darussalam berjaya.
Ribuan hektare perkebunan lada tumbuh subur di wilayah kesultanan dan menjadi komoditas perdagangan penting yang mewarnai pelabuhan-pelabuhan setempat. Hingga akhir abad 19, Kesultanan Aceh menjadi kiblat lada terbaik dunia.
Antropolog Aceh dari Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh Reza Idria, menjelaskan kebiasaan warga Aceh duduk bersama dan bercengkerama di sebuah warung sebagai ruang publik, termasuk karakteristik budaya masyarakat di pesisir Selat Malaka. Hal itulah yang membuat minum kopi menjadi bagian gaya hidup dan pranata sosial masyarakat.
Kedai-kedai kopi di Aceh lebih dulu berkembang di wilayah pesisir. Hal itu berkaitan dengan posisi Aceh sebagai titik strategis jalur perdagangan laut sehingga wilayahnya, terutama di pesisir, menjadi wadah interaksi bagi orang-orang dari berbagai latar belakang.
Dalam perkembangannya, kedai kopi tidak sekadar tempat bersosialisasi dengan kerabat. Ruang ekonomi kecil juga muncul di kedai-kedai sederhana ini, yang tak jarang terjadi transaksi jual beli seperti tanah, ternak, dan lain-lain.
Bila Anda berkunjung ke Bumi Rencong, jangan lupa untuk menyinggahi sejenak kedai-kedai kopi yang bertumbuh seantero Aceh dan rasakan nuansa berbeda yang ada di dalamnya. (Artikel diolah dari Indonesia.go.id- Foto: Ist)