Dusun Wotawati tidak pernah terpapar sinar matahari dalam waktu lama karena letaknya di lembah diapit dua perbukitan besar di sisi timur dan barat.
Bengawan Solo merupakan sungai terpanjang di Pulau Jawa yang mengalir sejauh 600 kilometer sejak hulu di Pegunungan Sewu hingga bermuara di delta menuju Laut Jawa, yakni di Kecamatan Ujungpangkah, Kabupaten Gresik, Jawa Timur. Akibat peristiwa geologis 4 juta tahun lampau, sungai terpanjang ini telah meninggalkan jejak sungai purba.
Saat ini sebagian besar aliran purba Sungai Begawan Solo dimanfaatkan menjadi lahan pertanian, kecuali yang berada di Kelurahan Pucung, Kecamatan Girisubo, Gunungkidul, DIY.
Di sini, ada sebuah dukuh atau dusun yang letaknya sedikit terpencil, namanya Wotawati. Sebelah selatan dusun adalah Samudra Hindia sedangkan bagian timur berbatasan dengan Kecamatan Pracimantoro, Kabupaten Wonogiri di Jawa Tengah.
Dikutip dari Indonesia.go.id, untuk mencapai padukuhan ini jaraknya sekira 36 kilometer dari Kota Wonosari atau 1 jam berkendara motor melewati Jalur Jalan Lintas Selatan (JJLS) di Rongkop. Kalau dari jantung Kota Yogyakarta jaraknya 78,4 km atau sekira 2 jam 6 menit berkendara. Wotawati untuk sementara hanya dapat dijangkau dengan kendaraan pribadi.
Dipeluk Perbukitan
Dusun Wotawati letaknya di lembah bekas aliran purba Bengawan Solo dan untuk mencapainya perlu ekstrahati-hati. Ini karena kontur jalannya yang menurun dan sedikit curam terutama di musim hujan. Jalan pun belum diaspal, baru sebatas diberi cor blok.
Akibat lokasinya yang dipeluk perbukitan membuat suhu udara dusun ini lebih sejuk dari tempat lain, antara 24-26 derajat Celcius di waktu siang dan sekira 20–21 derajat Celcius kala malam hari.
Kiri dan kanan dusun berdiri menjulang tebing bukit hijau ditumbuhi aneka tanaman keras milik warga seperti jati. Sebagian lainnya menanam singkong, pisang, jagung, dan kedelai.
Warga dusun yang dihuni oleh 82 kepala keluarga (KK) atau sekitar 450 jiwa yang mendiami 4 Rukun Tetangga (RT) ini juga memelihara ternak sapi dan kambing yang pakannya berupa rumput gajah ditanam di sela pepohonan jati. Sebagian besar mereka merupakan warga asli yang telah hidup di Wotawati secara turun temurun sejak berabad silam.
Baca juga: Desa Terapung Muara Enggelam, Wisata Pedalaman Kalimantan
Mengejar Matahari
Terletak di lembah diapit dua perbukitan besar di sisi timur dan barat membuat Dusun Wotawati tidak pernah terpapar sinar matahari dalam waktu lama. Berbeda dengan wilayah lain, sinar mentari baru menerangi Wotawati sekitar pukul 8 pagi dan kembali menghilang sebelum jam 16.00 WIB dan membuat kawasan dusun gelap.
Artinya, warga Wotawati menikmati terbitnya matahari lebih lambat dan merasakan tenggelamnya sang surya lebih cepat dibandingkan daerah lain. Meski fenomena itu sepintas menarik, nyatanya menimbulkan tantangan bagi warga Wotawati. Di antaranya, sering kali pakaian yang mereka jemur menjadi susah kering.
Durasi paparan sinar matahari yang sebentar ikut berpengaruh kepada pertumbuhan tanaman warga. Akhirnya warga pun harus berdaptasi dengan kondisi yang mereka alami dan seolah seperti mengejar matahari. Misalnya jika hendak pergi keluar dusun, maka harus diupayakan pulang sebelum gelap atau tiba di tempat tinggal mereka sebelum jam 16.00 WIB.
Posisi yang dijepit oleh perbukitan tinggi menyebabkan warga sedikit kesulitan menangkap sinyal siaran televisi dan ponsel. Itu sebabnya, di hampir atap rumah warga kita dapat dengan mudah menjumpai antena parabola. Kendati terpencil, warga dusun sudah menikmati listrik selama 24 jam.
Baca juga:Menggali Makna Sumbu Kosmologis Yogyakarta
Penataan Wotawati
Kepala Kelurahan Pucung Estu Driyono seperti dikutip dari website Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Gunungkidul mengungkapkan fenomena menarik di Wotawati bahkan bisa lebih singkat dirasakan sewaktu musim hujan tiba. Sebab, cuaca mendung justru lebih mempersingkat daratan Wotawati disinari oleh matahari.
Kendati demikian, fenomena menarik di Dusun Wotawati menyimpan potensi wisata karena jarang ditemui di daerah lainnya. Selain itu warga setempat memiliki budaya yang tak kalah menarik untuk ditawarkan kepada wisatawan seperti tradisi gendhuri atau upacara meminta turun hujan.
Seperti diketahui, daerah Gunungkidul yang terdiri dari 18 kecamatan merupakan Kawasan tandus karena dikelilingi oleh perbukitan dan pegunungan karst yang sulit menyimpan air.
Melihat potensi wisata yang bisa dikembangkan dari Dusun Wotawati ini, maka sejak Juni 2024, Pemkab Gunungkidul memutuskan untuk menggelontorkan anggaran yang diambil dari Dana Istimewa (Danais) sebesar Rp5 miliar. Dana sebesar itu digunakan untuk penataan kawasan dusun seperti membangun ulang pagar dan teras rumah warga agar tampilannya lebih artistik.
Sebagian besar fasad rumah warga saat ini telah bersalin rupa dengan tampilan depan seragam. Misalnya pintu halaman dibangun gapura kecil serta pagar telah ditembok. Menariknya, gapura dan pagar didirikan menggunakan bata merah ekspose atau tanpa diplester adukan semen. Bentuknya identik dengan perkampungan warga pada masa Kerajaan Majapahit atau bergaya mataraman.
Baca juga: Menyaksikan Keajaiban Lukisan Alam dI Bukit Jamur Jawa Timur
Wisata Berkualitas
Rencananya hingga 3 tahun ke depan ada sebanyak 79 rumah warga yang direnovasi pada bagian fasad. Melalui penataan kawasan ini, Estu berharap Wotawati bisa makin dikenal masyarakat luas dan bukan saja menawarkan keindahan alam dan fenomena yang unik di dusun ini. Tetapi juga bisa mengenalkan budaya dan tradisi yang dimiliki. Misalnya aneka kuliner khas Wotawati seperti pepes kroto, masakan enthung jati, dan blendrat sejenis gorengan garing berbahan daun singkong.
Pelaksana Tugas Bupati Gunungkidul Heri Susanto berharap, pengembangan Wotawati menjadi destinasi wisata terpadu dapat memberikan dampak ekonomi yang baik bagi masyarakat setempat. Dia meminta aparat kelurahan untuk bersinergi dengan Dinas Pariwisata Kabupaten Gunungkidul agar memetakan prioritas pengembangan wisata di Wotawati.
Ketua Badan Promosi Pariwisata Daerah (BPPD) DIY, GKR Bendara juga mendukung dimulainya penataan di Wotawati sebagai salah satu perwujudan pariwisata yang lebih berkualitas (quality tourism). Dirinya juga meminta supaya keindahan alam di Wotawati tidak rusak setelah menjadi tempat wisata dan berharap pihak kelurahan menerbitkan peraturan khusus demi melindungi kelstarian alam sekitar dusun.