Di tengah perkembangan musik modern, ada satu warisan budaya yang mulai terlupakan, yaitu “ginggung”, musik tiup tradisional dari Kabupaten Bangkalan, Madura, Jawa Timur.
Dilansir dari laman lontarmadura.com, Ging-gung, yang juga dikenal sebagai “din-ding” atau “ren-ding” di wilayah-wilayah Madura lainnya, seperti Sampang dan Pamekasan, adalah alat musik sederhana yang menghasilkan irama dan bunyi unik melalui tiupan dan hisapan mulut serta permainan jari-jari tangan pemainnya.
Instrumen ini, meski sederhana, menyimpan keunikan tersendiri karena menawarkan keindahan suara alami yang khas. Menurut cerita masyarakat setempat, permainan “ging-gung” sudah ada sejak dahulu kala, terutama di wilayah Kecamatan Sepulu, Bangkalan.
Baca juga: Karapan Sapi, Merawat Seni Tradisi Asli Madura
Musik ini diyakini berasal dari aktivitas para penggembala ternak atau penjaga ladang yang menciptakan bunyi-bunyian dari alat sederhana sebagai pengisi waktu luang. Pada awalnya, para penggembala membuat “sawangan”, yaitu irisan bambu pada layangan besar yang berbunyi saat terkena angin, menimbulkan suara “wang-uweng”.
Inovasi sederhana ini kemudian berkembang menjadi “ging-gung”, instrumen tiup yang menghasilkan berbagai bunyi dan nada. Ging-gung terbuat dari bambu tipis dengan panjang sekitar 30-35 cm dan lebar 2-3 cm, yang memiliki tali dan lidi pada ujungnya.
Tali ini dipegang di ujungnya dan ditarik-tarik, menciptakan getaran yang menghasilkan bunyi. Irama dan nada terbentuk melalui kombinasi tarikan tali dan kontrol rongga mulut. Ini membutuhkan keterampilan dan kekuatan pernapasan yang baik karena pemain harus mengendalikan nada dengan tepat.
Hiburan Rakyat
Meski awalnya dimainkan untuk hiburan pribadi, “ging-gung” lama-kelamaan dimainkan bersama, biasanya oleh tiga hingga empat orang. Dalam formasi kecil, instrumen ini dapat menghasilkan harmonisasi nada yang indah, memberikan pengalaman musikal yang unik bagi pemain dan pendengar. Permainan “ging-gung” umumnya dimainkan di ladang, saat menggembala, atau sebagai hiburan di rumah.
Di beberapa kesempatan, instrumen ini dimainkan pada acara-acara penting, seperti perayaan pernikahan atau khitanan, dan pemain yang diundang biasanya adalah mereka yang sudah mahir.
Dalam acara-acara tersebut, para pemain kadang menerima “salam tempel” sebagai tanda apresiasi dari tuan rumah. Hingga kini, “ging-gung” tetap dipertahankan oleh para pemain senior sebagai simbol hiburan rakyat yang sederhana. Sayangnya, generasi muda di Madura mulai kehilangan minat terhadap “ging-gung”, tergantikan instrumen musik modern yang lebih populer.
Untuk itu, upaya pelestarian diperlukan agar kesenian ini tidak hilang ditelan zaman. Dengan dukungan pemerintah daerah dan komunitas, diharapkan musik tradisional “ging-gung” dapat terus dimainkan dan dikenalkan kepada generasi muda melalui festival budaya atau kegiatan edukasi di sekolah.
Ging-gung bukan sekadar musik tiup biasa, tetapi warisan budaya yang mencerminkan kreativitas dan kearifan lokal Madura dalam menghasilkan harmoni dari alat yang sederhana.