Ismail Marzuki, seorang maestro musik Indonesia, lahir pada 11 Mei 1914 di Jakarta dari keluarga berkecukupan. Meskipun ayahnya, Marzuki, menginginkan Ismail menjadi pegawai kantoran, bakat musik Ismail tidak dapat dibendung.
Menurut buku “Seabad Ismail Marzuki” karya Ninok Leksono, ayahnya memastikan Ismail mendapatkan pendidikan terbaik di HIS dan MULO, sekolah untuk golongan elit pribumi. Selain itu, Ismail juga belajar di madrasah untuk memperdalam pendidikan agamanya.
Namun, minatnya pada dunia musik mulai terlihat saat ia memilih pekerjaan sebagai penjual alat musik dan piringan hitam/vinyl, meninggalkan karier kasir pilihan ayahnya. Sejak kecil, Ismail memang akrab dengan musik.
Ayahnya, seorang kolektor piringan hitam, tanpa sadar menanamkan kecintaan pada musik dalam diri Ismail. Profesi sebagai penjual piringan hitam memberikan Ismail ruang untuk mendalami dunia musik sekaligus mempertemukannya dengan para musisi ternama.
Salah satunya adalah Hugo Dumas, pemimpin orkes “Lief Java”, yang kemudian mengundang Ismail bergabung. Dalam orkes ini, Ismail berperan sebagai pemain alat musik, penyanyi, hingga pencipta aransemen lagu.
Namun, ia lebih memilih menciptakan lagu yang menjadi identitasnya sebagai musisi. Antara 1945 hingga 1949, periode paling produktifnya, Ismail menciptakan banyak lagu yang terinspirasi dari perjuangan bangsa dan kehidupan sehari-hari.
Karya yang Menentang Waktu
Melansir dari Wikipedia, Ismail Marzuki telah menciptakan lebih dari 200 lagu yang hingga kini masih dinyanyikan lintas generasi. Lagu-lagu perjuangan seperti “Sepasang Mata Bola” dan “Selamat Datang Pahlawan Muda” menjadi simbol semangat nasionalisme.
Lagu “Sepasang Mata Bola” misalnya, terinspirasi dari perjalanan Ismail ke Yogyakarta saat masa perjuangan kemerdekaan. Liriknya yang sederhana namun penuh makna menggambarkan suasana zaman dengan lugas.
Di samping tema perjuangan, Ismail juga dikenal melalui lagu bertema asmara seperti “Rindu Lukisan” dan “Juwita Malam”. Lagu-lagu ini kerap diaransemen ulang musisi dari berbagai generasi, menunjukkan relevansi karya Ismail di tengah perkembangan zaman.
Salah satu karya legendarisnya, “Hari Lebaran”, menjadi lagu wajib setiap Idulfitri. Liriknya tak hanya menyuarakan kebahagiaan, tetapi juga pesan moral, seperti menghindari korupsi, yang mencerminkan kepedulian Ismail terhadap kondisi bangsa.
Penghargaan dan Warisan
Semangat Ismail yang anti-kolonialisme membuatnya dikagumi tokoh-tokoh nasional, termasuk Soekarno yang menganugerahinya Bintang Jasa Wijaya Kusuma. Karya Ismail tidak hanya menjadi hiburan, tetapi juga sarana menyampaikan kritik sosial dan semangat perjuangan.
Ismail Marzuki adalah bukti bahwa musik mampu menjadi jembatan antara seni, perjuangan, dan kehidupan sosial. Warisannya abadi, menginspirasi generasi demi generasi untuk terus mencintai budaya Indonesia. (Dari berbagai sumber)