Wahyu Affandi Suradinata, atau akrab dikenal sebagai Wahyu Kujang, adalah sosok yang mendalami seni dan sejarah kujang, senjata tradisional khas Jawa Barat. Tidak hanya sekadar pembuat kujang, pria kelahiran Bandung pada 3 Agustus 1953 ini juga menguasai sejarah panjang senjata yang lekat dengan identitas budaya Sunda.
Keahlian dan kecintaannya terhadap kujang telah menjadikannya satu-satunya pembuat kujang (Guru Teupa) terkemuka di Kota Bogor. Di bengkelnya Paneupaan Kujang Pajajaran di Jl. Raya Tajur Gg. Babadak, RT.05/RW.09, Katulampa, Kec. Bogor Timur, Kota Bogor, Wahyu Kujang memproduksi kujang pusaka, plakat, dekorasi, pajangan hingga aksesoris.
Menggali Informasi
Melansir dari indonesiakaya.com, kisah Wahyu dengan kujang bermula pada Desember 1993 ketika ia menemukan sebuah kujang tertancap di atas batu di tepi sungai Sukawayana, Pelabuhan Ratu. Pengalaman itu menumbuhkan ketertarikannya terhadap senjata tradisional ini, yang ia sebut sebagai karya seni bernilai tinggi.
Sejak saat itu, Wahyu mulai mendalami kujang secara serius. Pada 1995, ia memulai perjalanan sebagai pembuat kujang dengan menggali informasi dari berbagai sumber, termasuk kolektor kujang kuno di Bogor, Banten, dan Sukabumi.
Wahyu tidak hanya berinteraksi dengan kolektor kujang, tetapi juga mengunjungi museum-museum seperti Museum Siliwangi dan Museum Sri Baduga, bahkan hingga Keraton Kasepuhan. Ia juga mendapatkan banyak informasi dari Anis Jatisunda, seorang ahli sejarah Sunda Pajajaran.
Melalui naskah-naskah kuno dan hasil penelitiannya, Wahyu mempelajari berbagai jenis kujang, baik dari segi bentuk maupun fungsinya dalam tradisi Sunda.
Baca juga: Museum Kujang Pusaka Kampung Budaya Paseban Bogor Dibuka
Pembuatan Kujang
Menurut Wahyu, pembuatan kujang dapat dilakukan dengan dua teknik utama. Pertama, menggunakan bahan besi dengan pamor yang dilukis menggunakan proses kimia.
Kedua, memadukan besi dan baja campur untuk menghasilkan kualitas yang kuat dan tahan lama. Wahyu juga menambahkan sentuhan khas pada kujang buatannya dengan memasukkan logam kuningan, emas, atau batu mulia ke dalam mata kujang, menciptakan nilai estetika yang tinggi.
Uniknya, Wahyu Kujang tetap memegang teguh tatali paranti (adat atau aturan tak tertulis) dalam pembuatan kujang pusaka dengan hanya menempa kujang di hari Senin dan Kamis dibarengi dengan puasa sunnah.

Filosofi Kujang
Wahyu menjelaskan bahwa kujang memiliki dua bentuk khas. Pertama, Sulangkar, yang memiliki pola garis-garis meliuk atau disebut Rambut Sadana.
Kedua, Tutul, yang berbentuk bintik-bintik atau bulatan kecil yang tersebar. Dalam pandangan Wahyu, kujang masa kini umumnya digunakan sebagai hiasan ruangan atau koleksi pribadi. Namun, banyak juga yang masih memandang kujang sebagai pusaka yang penuh makna simbolik.
Baca juga: Entang Sutisna Bikin Wayang Golek Makin Mendunia
Identitas Sunda
Selain sebagai pengajar seni rupa dan bahasa Sunda di salah satu SMK di Bogor, Wahyu juga aktif mempromosikan kujang sebagai cenderamata khas tanah Sunda. Baginya, kujang tidak hanya sekadar senjata, tetapi juga simbol identitas budaya dan sejarah yang perlu dilestarikan.
Di usia 70-an, Wahyu Affandi Suradinata tetap berkomitmen untuk menjaga seni pembuatan kujang, menjadikannya tidak hanya sekadar kerajinan tangan, tetapi juga sebagai medium pelestarian sejarah dan tradisi Sunda yang berharga. (Diolah dari berbagai sumber)